Home Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda

by admin
Sultan Iskandar Muda
Ketika Sultan Iskanda Muda hendak berlayar dengan Armada Cakra Donya, terjadilah dialog yang mengharukan antara Sultan dan Puteri Pahang.

Ketika Sultan Iskanda Muda hendak berlayar dengan Armada Cakra Donya, terjadilah dialog yang mengharukan antara Sultan dan Puteri Pahang. Dalam dialog tersebut, Puteri Pahang meminta kepada Sultan agar ia dapat ikut serta dalam pencarian Raja Si Ujud, namun Sultan merasa keberatan. Sultan Iskandar Muda memintanya untuk tetap tinggal di Istana Darud Donya.

Setelah berdialog lama, yang kadang-kadang sangat romantis, Puteri Pahang menitipkan pesan yang amat berkesan. Puteri Pahang meminta agar Sultan Iskandar Muda mengejar Raja Si Ujud sampai dapat dan dibawa ke Aceh, hidup atau mati. Bila Sultan tidak dapat menemukannya di Johor, maka Raja si Ujud harus dikejar sampai ke Pahang. Kalau di Pahang juga tidak ada, maka harus dicari sampai ke Melaka. Bila di Melaka atau tempat lain di Semenanjung Tanah Melayu juga tidak ada, maka haruslah dikejar sampai ke “Goa” (yaitu pusat kekuatan dan kekuasaan Portugis di daerah India). Demikianlah pesan Puteri Pahang.

Sekali lagi terjadi dialog antara Puteri Pahang dan Sultan Iskandar Muda yang sangat mengharukan ketika Sultan akan berlayar. Yaitu ketika Puteri Pahang tidak diizinkan melepaskannya di Kuala Aceh, pangkalan Armada Cakra Donya, hanya cukup melepaskannya di gerbang luar Istana Darud Donya. Hal ini dikarenakan Sultan Iskandar Muda tidak ingin dilepaskan dengan air mata ketika ia menaiki kapal. Bahkan tidak seorangpun para isteri atau tunangan hadir di Kuala Aceh.
Di gerbang luar Istana Darud Donya, Puteri Pahang melepaskan Sultan Iskandar Muda dengan pesan-pesan yang amat mengesankan. Pesan-pesan yang disampaikannya berbunyi:

“Harap Tuanku waspada,
Dalam pelayaran melintasi Selat Malaka,
Akan Tuanku hadapi tiga bahaya,
Yang pertama gelombang besar,
Bahaya kedua di Asahan,
Tuanku dihadang Raja Muda,
Yang ketiga bahaya di Banang,
Tiga Aulia bermakam di sana,
Karena itu Tuanku,
Banang jangan dihancurkan”.

Dalam dialog terakhir ini, Puteri Pahang juga memperingatkan agar Sultan Iskandar Muda haruslah sangat berhati-hati dan bijaksana dalam mengangkat Panglima Armada Cakra Donya. Ketika salam pamitan, Puteri Pahang pun berucap haru:

“Kalau jadi Tuanku berangkat,
Tinggal di mana puteri yang hina,
Demi Allah, Tuanku jangan pergi,
Sebelum pasti kami tinggal dimana”.

“Ampun Tuanku Duli Syah Alam,
Kupegang di tangan, berangkat jangan,
Kalau Tuanku menempuh daratan,
Musuh datang lewat lautan,
Puteri ditawan di istana…”

Dengan pasti Sultan Iskandar Muda pun menjawab:

“Sungguhpun demikian, Tuan Puteri,
Dengarlah peri madah beta,
Adinda kuserahkan kepada Allah,
Tuhan pencipta kita semua…”

Puteri Pahang kembali menjawab:

“Kalau kepada Allah kami diserahkan,
Tuanku kulepaskan dengan doa,
Berangkatlah, Tuanku, dengan selamat,
Semoga Allah memberi syuf’at…”

Demikianlah dialog perpisahan romantis yang terjadi ketika Sultan Iskandar Muda hendak berangkat bersama Armada Cakra Donya untuk memerangi Raja Si Ujud.

Dalam pelayaran menuju Melaka, Iskandar Muda dengan beberapa pewira tingginya mendarat di Pidie. Dari sanalah menempuh jalan darat menuju Kuala Jambo Aer, pangkalan Armada Selat Melaka. Dalam perjalan dari Pidie menuju Jambo Aer, ikut bersama Iskandar Muda pasukan-pasukan pilihan dari Pidie, Meurdu, Samalanga, Jeumpa, Geulumpang Dua, dan sebagainya. Salah seorang yang terpenting dari Pidie, yaitu panglima Pidie, merupakan seorang perwira muda yang sangat berani tetapi kurang perhitungan. Dari Meurdu, ikut seorang ulama besar yang berasal dari Madinah, yang bernama Ja Pakeh. Beliau seorang perwira tinggi dari Angkatan Perang Turki Usmaniyah yang datang ke Aceh dalam rangka kerjasama antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaaan Turki Usmaniyah. Ja Pakeh diangkat menjadi penasehat untuk Armada Cakra Donya. Selain Ja Pakeh, seorang Laksamana Muda yang berasal dari Meurdu juga ikut bersama Armada Cakra Donya, yaitu bernama Maleem Dagang.

Sesampainya Iskandar Muda dan rombongan di Kuala Jambo Aer, pangkalan Armada Selat Malaka, diadakan musyawarah penting untuk mengangkat Panglima Armada Cakra Donya. Dua calon ditampilkan, yaitu Panglima Pidie, seorang perwira tinggi Angkatan Darat, dan Laksamana Malem Dagang, seorang perwira tinggi Angkatan Laut. Dengan nasehat dari Ja Pakeh, maka Iskandar Muda mengangkat Maleem Dagang menjadi Panglima Armada Cakra Donya, karena ia di samping memiliki sifat-sifat yang berani, juga mempunyai sifat arif bijaksana.

Dalam perjalanan dari Jambo Aer menuju Asahan, Armada Cakra Donya dihadang gelombang dan taufan dahsyat, meski demikian Cakra Donya berhasil selamat sampai di Kuasa Asahan. Lepas dari gelombang besar tersebut, Iskandar Muda dihadang oleh Raja Muda, Raja Negeri Asahan (yang menurut Hikayat Maleem Dagang masih ‘kafir’, belum islam). Berkat kebijaksanaan Laksamana Maleem Dagang dan keberanian Panglima Pidie, Asahan dapat ditaklukkan, dan sejumlah puteri istana –termasuk Permaisuri Raja Muda-, ditawan. Setelah Raja Muda bersama seluruh rakyatnya menyatakan masuk islam, maka semua tawanan dibebaskan. Bahkan Raja Muda diangkat menjadi Sultan Asahan di bawah perlindungan Aceh.
Sesuai wasiat Puteri Pahang, Banang tidak dihancurkan, karena menghormati dua Aulia Allah yang bermakam di sana. Raja dan rakyat Banang menerima Iskandar Muda dengan rasa persaudaraan, karena mereka memang telah memeluk islam.

Dari Banang, Armada Cakra Donya menuju Johor, di mana raja dan rakyat Johor menerima Iskandar Muda dengan sikap permusuhan. Dari sinilah peperangan dimulai hingga akhirnya Raja Si Ujud ditemukan dan berhasil dikalahkan oleh Armada Cakra Donya. Raja Si Ujud ditawan dan dibawa ke Aceh untuk akhirnya dihukum mati oleh Sultan Iskandar Muda.

(Cerita ini berdasarkan Hikayat Maleem Dagang) yang diceritakan kembali oleh A. Hasjmy -yang dikutip dari Wan Shamsuddin dan Arena Wati dalam buku Sejarah Tanah Melayu dan Sekitarnya- yang dikutip dari buku Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas yang diterbitkan oleh Yayasan Nusantara pada tahun 1995)