Home Majalah Wawancara Eksklusif Wartawan Jawa Pos

Wawancara Eksklusif Wartawan Jawa Pos

Wawancara Eksklusif Wartawan Jawa Pos

by Sjukri Ibrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Bapak Ketua M-GAM Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro yang terhormat.
Mohon izin, perkenalkan nama saya Ilham Wancoko wartawan Jawa Pos. Setelah berkomunikasi dengan Bang Al Chaidar, saya sangat tertarik dan merasa terhormat untuk diperkenankan menulis tentang Majelis Gerakan Aceh Merdeka( M-GAM) dan kondisi paska perjanjian Helsinki, termasuk Undang-Undang nomor 11/2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pertama sekali saya ingin memperkenalkan diri dulu agar dalam silaturrahmi kita akan lebih ramah dan lebih lancar. Nama saya Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro, adalah Ketua dari Majelis GAM Pusat. Kami baru mendeklarasi Majelis GAM Pusat ini pada 4 Desember 2021 yang lalu. Majelis ini bukan satu bentuk perjuangan baru bagi Bangsa Acheh Sumatera. Bukan bentuk perjuangan untuk membuat peta politik yang baru di Acheh Sumatera. Kami akan memperjuangkan untuk mendapatkan kembali kemerdekaan Negara Acheh Sumatera dari tangan penjajah “indonesia”.
Kami dari Majelis GAM Pusat ingin mempersatukan seluruh Bangsa Acheh yang ingin memperjuangkan untuk mendapatkan kemerdekaan Acheh Sumatera. Sebagaimana yang kita ketahui selama ini Acheh Sumatera telah kalah dalam kancah berpolitik dengan “indonesia”. Kehendak, keinginan, kemauan dan cita-cita Bangsa Acheh tertimbun dengan janji manis yang tidak pernah ditunaikan. Hal utama dari Bangsa Acheh telah dipadamkan. Kami ingin mendapatkan kemerdekaan dan ingin menjadi tuan di tanah kami sendiri dengan tidak diganggu gugat oleh pemerintahan dari seberang laut.

Oleh karena kemerdekaan Acheh Sumatera telah semakin jauh untuk dapat digapai dengan terjadinya keadaan politik yang telah terjadi sekarang ini di Acheh, maka beberapa orang dari Bangsa Acheh telah mencoba untuk mendeklarasikan bentuk perjuangan baru. Termasuklah seperti yang telah saudara sebutkan di atas tadi. Seperti yang telah disebutkan, Majelis GAM Pusat ingin menyatukan semua bangsa Acheh yang ingin membebaskan diri dari penjajahan “indonesia” sesuai dengan dasar perjuangan yang telah Allahyarham Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad gagaskan. Selain dari gagasan beliau kami dari Majelis GAM Pusat tidak akan kami laksanakan dan tidak akan kami ikuti. Yang ada pada kami adalah Negara Acheh yang berdaulat.

Majelis GAM Pusat tujuan utama adalah menyatukan bangsa Acheh untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Bersatu dalam pemikiran, perkataan, perbuatan dan tujuan yang nyata. Bak pepatah Acheh “Bak duëk bak dong beusapeuë pakat, sang sineusab meu-adoë a” (Dalam duduk dan berdiri harus bersatu kata, seolah-olah satu nasab beradik kakak). Supaya tidak ada lagi kelompok-kelompok lain yang mengklaim dirinyalah berjuang dengan sebenar-benar perjuangan. Semua kembali ke dasar ilmu kemerdekaan yang telah Tengku Hasan di Tiro ajarkan dan sebarkan kepada kita. Kami berprinsip semua hal yang tidak tertera dalam tulisan, buku dan ceramah oleh Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad adalah tidak benar belaka, alias palsu atau dusta.

Saya sebagai jurnalis, baru mengetahui terkait deklarasi PNAD Minggu kemarin (9/10) dari Bang Al Chaidar. Deklarasi itu dalam pengetahuan saya juga didukung oleh M-GAM. Padahal deklarasi itu telah dilakukan 3 Desember 2020 lalu, sudah lebih dari satu tahun yang lalu. Bahkan, belum ada media di Indonesia yang mengetahui terkait deklarasi PNAD dengan dukungan M-GAM tersebut, sekaligus problem yang terjadi di Aceh. Khususnya, paska perjanjian Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh.

Karena itu perkenankan saya mengajukan beberapa pertanyaan terkait kondisi dan situasi yang membuat M-GAM mendukung deklarasi tersebut, pertanyaannya sebagai berikut:
Apa kabarnya Bapak Teungku Mussana Abdul Wahab di Tiro? semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan panjang umur serta berkah-NYA untuk Bapak dalam memperjuangkan Rakyat Aceh. Salam kenal, saya Ilham Wancoko wartawan Jawa Pos.

Alhamdulillah, saya dalam lindungan Allah dan diberikan kesehatan dan pikiran yang jernih sehingga saya bisa berkomunikasi dengan saudara Ilham. Terima kasih atas do`anya semoga diterima oleh Allah subhanahu wa ta`ala.

Bagaimana kondisi realisasi dari Perjanjian Helsinki di Aceh?

Sebenarnya Majelis GAM Pusat tidak berhubungan sama sekali dengan Perjanjian Helsinki. Dalam pandangan Majelis GAM Pusat perjanjian tersebut adalah satu keputusan yang diambil dengan tergesa-gesa dan tidak ada keuntungan sama sekali terhadap Bangsa dan Negara Acheh. Semua keuntungan telah berpihak kepada pemerintah “Jakarta”.
Dalam perjuangan yang telah Tengku Hasan Muhammad di Tiro bentuk dan berkembang setelahnya, hanya satu tujuan dan satu keputusan yang bulat, yaitu kemerdekaan untuk Acheh, tidak ada tolak angsur. Dan dalam perjanjian Helsinki tersebut, semua point-point yang tertera disana adalah untuk keuntungan “indonesia” semata-mata. Apakah ada point yang akan menguntungkan Acheh dalam segi politik? Apakah ada keuntungan dalam pendidikan? Apakah ada keuntungan dalam pemerintahan? Apakah ada keuntungan dalam hal ekonomi? Tidak ada sama sekali. Kenyataannya semuanya masih diatur dari perintah yang berpusat di Jakarta. Kesimpulannya tidak ada keuntungan apa-apa bagi Bangsa Acheh.

Apakah dari 71 butir kesepakatan Helsinki terdapat poin-poin yang tidak dijalankan Pemerintah Indonesia dalam UU PA? Apa saja poin tersebut?

Tidak ada yang telah berjalan dengan sepatutnya. Tidak ada. Pemerintahan Acheh? Masih tidak ada. Sebenarnya jika memang “indonesia” jujur dalam perjanjian ini, tidak perlu waktu yang begitu lama untuk dijalankan. Oleh karena tidak ada kejujuran dari pihak “indonesia” maka banyak bahkan hampir keseluruhan point tidak ada yang berjalan. Contoh salah satu point tentang self-government atau pemerintahan sendiri di Acheh tidak berjalan, seperti jabatan gubernur, DPRA dan lainnya, ini semua sama persis bentuknya dari cetakan Jakarta. Jadi point ini “berjalan” seperti kehendak Jakarta dan tidak bermakna sama sekali terhadap Acheh. Bermakna point ini tidak berjalan. Ini adalah contoh dari satu point dari sekian point lainnya yang telah disepakati dan tidak berjalan.

Adakah hal-hal yang membuat PNAD berpandangan bahwa Pemerintah Indonesia tidak menepati janjinya dalam Perjanjian Helsinki?

Saya tidak pantas menjawab pertanyaan ini sebab saya bukan dari PNAD.

Apakah yang mendorong M-GAM mendukung melakukan deklarasi PNAD di Denmark?
Kami dari Majelis GAM Pusat tidak ada sangkut pautnya dengan PNAD.

Deklarasi tersebut ini apakah merupakan representasi dari Rakyat Aceh?
Saya kira PNAD adalah nama baru dalam Gerakan Acheh Merdeka. Sebagai nama baru, belum bisa mewakili dari Bangsa Acheh. Bangsa Acheh masih belum kenal, belum mengerti, belum tahu dan masih meraba-raba apa itu PNAD? Menurut saya ini sepertinya suatu pemaksaan kehendak seseorang terhadap Bangsa Acheh.
Untuk menjelaskan hal ini, memerlukan satu penerangan baru kepada Bangsa Acheh. Sudah tentu jika memulai penerangan baru, maka akan terbentuk ideologi baru juga. Jika membentuk ideologi baru, ideologi asas tentang kemerdekaan yang telah Tengku Hasan Muhammad di Tiro ajarkan dahulu akan batal dengan sendirinya.
Saya rasa belum dan tidak bisa merepresentasi dari Bangsa Acheh.

Bagaimana kesejahteraan Rakyat Aceh paska Perjanjian Helsinki dan UU PA diresmikan?
Kesejahteraan ini mencakup dalam semua hal dalam kehidupan. Dan juga menurut “kaca mata” apa yang kita pakai untuk melihat “kesejahteraan” ini. Pertanyaan yang seumpama ini banyak yangvbertanya pada saya baik sebelum kita mengeluarkan pernyataan tentang terbentuknya Majelis GAM Pusat. Jawabannya masih sama. Tidak ada kesejahteraan sama sekali terhadap Bangsa Acheh. Apa lagi masalah keadilan, masih jauh dari harapan dan tujuan sebenarnya dalam bentuk sejahtera.

Ekonomi rakyat semakin terperosok. Malah Acheh termasuk dari daerah yang paling terpuruk dalam masalah kemiskinan. Pendidikan tidak bisa diandalkan. Tanah-tanah Acheh yang sangat luas telah dimiliki oleh orang-orang dekat dengan “Jakarta”. Sehingga kami rakyat Acheh jika ingin menggunakan tanah kami sendiri yang telah nenek moyang kami perjuangkan dan meraka tinggalkan buat kami masih tidak bisa digunakan. Banyak tanah-tanah adat kami telah berpindah hak milik dengan tanpa diketahui oleh rakyat Acheh. Sangat banyak kasus rakyat Acheh ingin membuka lahan baru yang akan digunakan untuk menanam tanaman penunjang ekonomi rakyat. Tidak bisa dilakukan karena terhalang dengan hak kepemilikan tanah tersebut yang telah berganti tangan dengan tidak sah kepada orang-orang Jakarta dimiliki dengan hak individual.

Orang-orang dari Jakarta dengan mudah bisa membuka lahan baru untuk keuntungan mereka dengan tanpa bertanya ataupun memberitahukan terlebih dahulu terhadap rakyat Acheh.

Baru-baru ini telah dibukan lahan baru untuk menambang emas di daerah Linge, Acheh Tengah. Apakah “Jakarta” peduli terhadap apa yang ada dilahan tersebut? Lahan tersebut adalah tempat Istananya Kerajaan Linge yang sangat megah masa lalu. Banyak kuburan Reje-reje (raja-raja) Linge bersemanyam. “Indonesia” dengan angkuhnya menambang emas disana dengan tanpa menjaga hak sejarah orang Acheh umumnya dan Linge khususnya. “Indonesia” tidak menjaga perasaan hati dari orang-orang Linge dengan hanya memikirkan keuntungan uang masuk ke kantong-kantong “Jakarta”. Hal ini harus dihentikan serta merta. Apakah akan ada dengan keuntungan ekonomi dan tidak menjaga hak dan perasaan rakyat Acheh?

Juga lihat dari segi kemakmuran rakyat Acheh yang tidak ada sama sekali. Kehidupan rakyat Acheh makin hidup dalam keterbelakangan dalam masalah kesejahteraan. Jangan dibandingkan dengan Negara-negara maju. Bandingkan saja dengan rakyat yang ada di negara-negara membangun lainnya. Sudah hampir satu generasi rakyat Acheh dalam “perdamaian” (jika kita lihat ini sebagai damai) tidak nampak sama sekali kehidupan rakyat Acheh lebih baik dari masa lampau. Kesehatan masyarakat semakin terpuruk. Lahan bekerja semakin hilang. Mata pencaharian semakin sempit. Rakyat Acheh dipaksa untuk membeli barang yang diimport dari pulau Jawa sedangkan hasil dari Acheh tidak ada sama sekali. Sedangkan Jakarta tidak menciptakan lahan pekerjaan yang baik di Acheh untuk dapat meningkatkan taraf hidup. Ini adalah salah satu bentuk penjajahan yang nyata. Pengaturan yang amburadul.

Sebagai Ketua M-GAM, apakah Bapak ingin menempuh jalan damai dalam memperjuangkan Rakyat Aceh?
Hal yang terbaik di dunia ini adalah kita dapat mencapai sesuatu dengan cara damai. Kita akan bekerja keras untuk jalan ini. Banyak jalan yang akan kita tempuh untuk mencapai hal ini. Insya Allah dengan do`a dan sokongan rakyat Acheh kita akan berjuang dengan cara damai.

Apakah Bapak juga akan berupaya memperjuangkan secara militer, bila jalan damai tidak bisa ditempuh?

Tidak ada bangsa yang beradab di dunia ini ingin berperang. Semua ingin hidup dalam damai. Sebagai Bangsa yang beradab kami tidak ingin hidup dalam penjajahan. Kami ingin merdeka dan seiring bahu dengan bangsa-bangsa merdeka lain di dunia ini.
Kami bangsa Acheh tidak pernah takut dengan peperangan. Biarpun hal ini tidak kita inginkan. Hukum Internasional ada point-point yang mengharuskan bagi bangsa terjajah menggunakan kekuatan yang sama dengan penjajah untuk membela dirinya.

Bila pemerintah Indonesia menawarkan merevisi UU PA, apakah itu akan menjadi salah satu pijakan untuk menempuh jalan damai?
Untuk kemungkinan menempuh jalur militer, apakah saat ini Bapak merasa perlu atau belum? Kita akan siap dalam segala hal.
Kami tidak mau memulai perang, jika “indonesia” memulai perang kami wajib membela diri.
Menurut Bapak, apa yang diperlukan untuk kedamaian dari Aceh?

Apa yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia agar Aceh terus terjaga kedamaiannya? Pertanyaan 10, 11 dan 12 jawabannya adalah “indonesia” melepaskan kekuasaannya di Acheh, maka Acheh akan damai.

Apakah Bapak pernah berkomunikasi dengan Bapak Jusuf Kalla terkait persoalan Perjanjian Helsinki dan UU PA?
Tidak pernah dan apakah perlu?

Beberapa waktu lalu terjadi pembunuhan terhadap Kepala BAIS TNI Pidie, apakah dibalik kejadian itu terdapat gerakan Tentara Aceh Merdeka (TAM)?

Saya tidak mewakili TAM dan tidak berhak menjawab tentang mereka.
Ini adalah kekejaman baru “indonesia” terhadap Bangsa Acheh dengan membawa motif perampokan yang sehingga menimbulkan korban terhadap orang yang tidak bersalah. Sebab kejadian ini adalah dari penipuan TNI terhadap Rakyat Acheh dan tidak berhasil. Sehingga orang yang seharusnya menjadi korban penipuan telah menjadi korban penangkapan yang tidak bersalah.

Kronologi kejadian adalah BAIS TNI telah berjanji kepada korban untuk menunjukkan tempat senjata peninggalan masa konflik dengan iming-iming akan menyerahkan uang sebesar Rp. 124 juta atau sekitar USD 90. Setelah terjadi kesepakatan, maka mereka membuat pertemuan. BAIS TNI pada waktu itu membawa seorang teman dari BAIS juga (sekarang sudah hilang lari entah kemana, kemungkinan besar temannya Abdul Majid yang menembaka Abdul Majid). Dalam pertemuan tersebut TNI telah mengkhianati perjanjian dan tidak akan menyerahkan uang imbalan malah mengancam korban untuk menyerahkan senjata secara cuma-cuma. Jika tidak mau menyerahkan senjata dengan cuma-Cuma maka semua keluarga akan dihabisi, alasannya tidak mau bekerja sama dengan TNI untuk menyerahkan senjata bekas konflik. Sebenarnya senjata itu apakah masih bisa digunakan atau tidak, tidak diketahui dengan pasti. Hal ini tidak ada dalam kesepakatan dan tidak diterima oleh korban. Disini tidak jelas secara pasti apakah TNI ditembak oleh korban atau ditembak oleh kawan TNI sendiri dengan sebab tidak akur dalam pembagian hasil.
Juga sangat disayangkan dalam cara penangkapan terhadap korban. Korban ditembak dua kali pada kedua kakinya setelah tangannya di borgol. Hal ini sangat melanggar hak korban dan sangat tidak profesional cara kerja aparat Indonesia. Aparat “indonesia” selalu bertindak dengan “benar”???

Menurut Bapak apakah Rakyat Aceh juga belum puas dengan pelaksanaan poin kesepakatan dalam Perjanjian Helsinki dan UU PA?
Semua rakyat Acheh sekarang sudah muak dengan MoU. Jangankan menyebutkan point-point dari MoU, mendengar bunyi MoU saja sudah merasa mual. Apalagi jika kita tanya tentang kepuasan.

Apakah ada yang Bapak ingin sampaikan kepada Rakyat Aceh?
Belajar sejarah, pahami arti merdeka, bersatulah. Bangsa Acheh adalah Bangsa mulia. Kemuliaan ini telah ada sejak kita lahir, hanya saja apakah kita bisa menjaganya? Jika kita jual harga kemuliaan ini akan terjual dengan tidak ada harga sama sekali, untuk mendapatkan kembali kemuliaan ini akan sangat susah, bahkan bisa hilang lenyap kebangsaan kita dimuka bumi ini.

Terima kasih, atas waktu yang diberikan Bapak Teungku Mussana Abdul Wahab di Tiro. Semoga Allah
SWT memberikan Aceh kedamaian. Amin.

Download lam bentuk pdf: Majalah Acheh Merdeka

You may also like

Leave a Comment