Home Buku-buku JAWABAN KEPADA RIVAI HARAHAP

JAWABAN KEPADA RIVAI HARAHAP

Jawaban Kepada Rivai Harahap yang ditujukan kepada Majalah Mingguan Tempo pada Desember, 1977

by admin

JAWABAN KEPADA RIVAI HARAHAP

Rivai Harahap, orang luar yang datang ke Acheh dan menamakan dirinya “Panglima” Kodam I/Iskandar Muda (seakan-akan Pemerintahan Iskandar Muda Meukuta Alam pernah menerima perintah dari Jawa) telah datang ke wilajah Pidie pada bulan Mai, 1977, dan berpidato di hadapan pemuka-pemuka masyarakat Acheh bagian Pidie. Isi pidato yang demikian bodohnya hingga merupakan penghinaan kepada kecerdasan pendengar-pendengarnya. Rivai Harahap menyangka orang-orang Acheh masih begotu bodoh sehingga dia berani datang ‘memberi pengarahan’ kepada kita. Dan ia berbicara dengan memakai kata-kata ‘kami’ menunjukkan kepada dirinya sendiri – suatu kesombongan yang keterlaluan bagi seorang pendatang dari luar, apa lagi bagi seorang boneka Jawa, menurut sopan santun bahasa Melayu, bahasa yan dipakainya. Rupanya Harahap begitu bangga dengan pidatonya itu, hingga pidato tersebut dicetak menjadi buku dengan uang rakyat dan anehnya pula buku itu tidak dicetak di Acheh, Sumatra, tetapi di Jawa, supaya keuntungan dari biaya cetak jatuh ke tangan bangsa Jawa pula. Sipenjajah Jawa ingin memeras kita sampai kepada tetes keuntungan yang penghabisan!

Isi pidato RIvai Harahap penuh dengan kata-kata ‘demokrasi’, ‘bangsa’, ‘identitas’, ‘Acheh Merdeka’, ‘’majapahit’, ‘pengkhianat’, ‘sumpah pemuda’, ‘pancasila’ dan sebagainya. Kita meragukan kalau Rivai Harahap tidak tahu apa yang keluar dari mulutnya atau tidak sadar Pidatonya ditulis oleh orang Jawa.¨

 

Mengenai ‘demokrasi’ Harahap mengaku bahwa di Acheh, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang menang dalam Pemilu dengan mendapat 642,900 suara dan Golkar kalah dengan mendapat 460,761 suara. Tetapi ia sendiri yang membuat kesimpulan sebagai berikut, (yang kita petik dari bukunya sendiri): “Jadi akhirnya perimbangan kursi di DPRD-I Acheh menjadi PPP 18 kursi, Golkar 21!” dengan perkataan lain PPP yang mendapat suara terbanyak, tetapi Golkar yang menang! Inikah yang disangka Rivai Harahap sebagai demokrasi? Dikatakannya lagi, “Pemilu untuk membentuk badan Legislatif, bukan untuk membentuk badan Eksekutif.” Tidakkah diketahui oleh Rivai bahwa dasar-fasar pokok demokrasi yang menghendaki Pemilu-lah yang wajib menentukan segala-galanya, baik mengenai Legislatif, maupun mengenai Eksekutif? Dan tambahan lagi, Eksekutif wajib selalu dibawah Legislatif!

Rivai berbicara pula tentang ‘identitas’, satu kata-kata asing, bukan bahasa Melayu. Tahukan ia apa artinya? Kita sangsikan. Kata-kata ‘identitas’ adalah dari bahasa latin. Dalam bahasa Inggeris ‘identity’; dalam bahasa Perancis ‘identité’. Artinya ialah sifat-sifat (characters) yang tidak dapat diubah-ubah pada seseorang, atau pada suatu bangsa, karena berhubungan dengan keturunan dan darah (genetics) dari yang bersangkutan. Misalnya ambillah si-pembicara kita sendiri yang datang memberikan ‘pengarahan’-nya yakni Rivai Harahap sendiri. Apakah ‘identitas’ manusia ini? Ia seorang Mandailing, karena ia telah dilahirkan oleh ibu-bapa Mandailing. Hal ini tidak diubah-ubahnya, karena itulah maka menjadi ‘identitas’-nya. Dari perkembangan sejarah yang sudah ribuan tahun maka bangs aini sudah mempunyai sifat-sifat yang menyendiri dan bentuk rupa yang dapat dikenal dan dapat dibeda-bedakan dari bangsa-bangsa lain yang disebut dalam bahasa Inggeris ’characteristic’ yakni sifat-sifat dari genetic-nya, demikian juga keturunan sebagaimana  nenek moyangnya. Inilah ‘identitas’ mereka. Bangsa-bangsa yang beradab. Bila seseorang merasa malu pada “identitas’-nya, itulah tanda-tanda ida menghadapi penyakit jiwa. Penyakit jiwa yang terlalu parah, yang extreme, yang menyebabkan kehilangan ‘identitas’ diri yang total, disebut dalam bahasa Melayu dengan kata-kata ‘gila’ – seseorang yang tidak mengenal dirinya sendiri lagi – kehilangan ‘identitas’ atau gila 50% sebab sekurang-kurangnya memang bangsa Jawa itu ada dan masih satu kenyataan. Tetapi kalau Rivai Harahap sebagaimana keadaannya sekarang – mengatakan ia sudah menjadi satu ‘bangsa indonesia’ – yang tidak ada sama sekali genetics dan identitas-nya, maka penyakit jiwanya lebih parah lagi, menjadi 100% dalam arti politik dan kebudayaan, sebab ‘bangsa indonesia’ itu tidak ada (orangnya tidak ada dan negerinya pun tidak ada) alias tidak ‘identitasnya’-nya, tidak ada genetic-nya, tidak ada bahasanya, tidak ada tanahnya. ‘Indonesia” itu hanya nama khayal semata-mata, negeri Entah-ber-Entah, dipropagandakan oleh orang-orang Jawa supaya mereka boleh pindah ke negeri-negeri bangsa lain, dan supaya diterima oleh bangsa-bangsa bukan Jawa yang sudah diperbodoh itu.

Semua bangsa-bangsa di dunia ini mempunyai ‘identitas’ mereka sendiri-sendiri yang bergantung pada genetics mereka, yang dijelmakan dalam bentuk rupa, warna kulit, dan rambut yang tentu-tentu. Tetapi siapakah yang dinamakan ‘bangsa Indonesia” itu? Apakah ‘identitas’ mereka? Bagaimana warna kulit mereka? Bagaimana rambut mereka? Bagaimana characteristics bentuk muka dan badannya? Mana tanahnya? Mana sejarahnya? Mana bangsanya? Yang saudara baca ini bukan ‘bahasa indonesia’ tetapi bahasa Melayu, hasil ribuan tahun kebudayaan Melayu dan bukan ciptaan tiba-tiba tahun 1945). Apakah ‘orang indonesia’ itu berambut keriting, atau berambut lurus? Berhidung mancung atau pesek? Kalau dijawab bentuk itu semua masuk ‘indonesia’ juga, maka itu bukan ‘identitas’ lagi sebab semua peradaban yang kita sebutkan di atas adalah ketentuan-ketentuan ilmiah yang dipakai oleh ilmu-ilmu anthropology, ethnology dan sociology sebagai tanda-tanda perbedaan identitas diantasa bangsa-bangsa di dunia ini. Kalau semua hal itu dicampur-adukkan dan dipandang sebagai bukan identitas, maka seluruh dunia boleh di-indonesia-kan (tidak ada orang yang mau). Sebenarnya pertanyaan “siapa orang Indonesia itu?” tidak dapat dijawab secara ilmiah, karena yang dinamakan ‘bangsa indonesia’ oleh orang-orang Jawa itu tidak ada menurut ilmu anthropology (asal usul manusia), ethnology (asal usul bangsa), sociology (ilmu masyarakat), history (ilmu sejarah). Karena ‘bangsa indonesia’ itu tidak ada maka identitas-nya pun tidak boleh diadakan secara ilmiah, secara khusus atau exclusive. Sedang ilmu philology (ilmu bahasa) mengatakan bahwa bahasa Jawa itu sendiri tidaklah termasuk dalam rumpun bahasa Melayu! Dan dimana gerangan ‘indonesia’ itu? Pulau Sumatra adalah milik bangsa-bangsa Sumatra seperti Acheh, Tapanuli, Minangkabau, Melayu dan lain-lain; Kalimantan hak milik bangsa-bangsa Kalimantan; Sulawesi milik bangsa-bangsa Sulawesi; Maluku milik bangsa Maluku; Papua milik bangsa Papua; Pasundan milik bangsa Sunda; Bali milik bangsa Bali; Madura milik bangsa Madura; hanya Jawa tengah dan Sebagian Jawa Timur milik bangsa Jawa. Hak milik ini telah ditentukan oleh sejarah negeri-negeri dan bangsa-bangsa itu sendiri sejak ribuan tahun, – sebelum nama ‘indonesia’, nama import dibawah tapak kaki sipenjajah Barat yang pernah terdengar disini.

Sebagaimana tidak adanya ‘bangsa indonesia’, maka demikian juga tidak ada ‘negeri indonesia’ apalagi ‘negara indonesia’ yang sesungguhnya. Yang disebut ‘republik indonesia’ sekarang hanyalah penjajahan Jawa belaka sebagai sambungan legal dari penjajahan Jawa belaka sebagai sambungan legal dan penjajahan yang tidak legal itu. Kenyataan bahwa ‘republik indonesia’ Jawa ini semata-mata didasarkan atas ‘penjajahan kedaulatan’ dari sipenjajah Belanda, berarti retroactive membenarkan penjajahan Belanda, membuatnya bukan satu negara hukum sama sekali. Dalam Hukum Internasional: Ex injuria jus non oritur. Negara hukum tidak dapat dilahirkan oleh negara yang tidak berdasarkan hukum. Tegasnya satu negara yang menerima kedaulatannya dari Hindia Belanda yang tidak berdasarkan hukum itu bukanlah negara hukum. Lagipula menurut Hukum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) negara-negara penjajah tidaklah mempunyai kedaulatan atas tanah jajahannya. Karena itu bagaimana Belanda boleh pura-pura menyerahkan kedaulatan yang tidak pernah dipunyainya atas negeri-negeri kita kepada republik Indonesia-jawa di Jakarta? Nemo dat quot non habet. Orang tidak boleh memberikan apa yang dia sendiri tidak mempunyainya! Oleh karena itu kedaulatan atas pulau-pulau luar Jawa adalah masih bulat, penuh, sempurna dalam tangan bangsa-bangsa penduduk asli itu sendiri masing-masing, hanya sayang sekali kebanyakan mereka sudah dibodohkan, digilakan dengan diruntuhkan identitas mereka oleh penjajah Jawa sebagaimana telah dibuatnya atas diri Rivai Harahap, membuatnya tidak menghargai dirinya sendiri, dan menggantikan identitas darahnya, wilayahnya (yang dapat diperiksa dan dipastikan dibawah microscope setiap waktu) dengan ‘identitas’ pura-pura yang ditempelkan orang-orang Jawa atas pundaknya untuk dapat membuat orang-orang seperti Rivai yang sangat sedrhana itu menyerahkan tanah pusaka nenek moyangnya – yang dahulu dipertahankan oleh mereka dengan sekuat tenaga – kepada si Jawa kolonialis dengan percuma!

Jadi Rivai Harahap-lah yang sedang menderita penyakit jiwa yang disebut identity crisis, yakni penyakit hilang ingatan dan kesadaran yang telah menyebabkannya tidak sanggup lagi memisahkan mana yang kenyataan (reality) dan mana yang fantasy. Inilah krisis identitas yang telah diciptakan oleh propagandis-propagandis Jawa selama 23 tahun ‘merdeka’ dibawah telapak kaki mereka, supaya mereka dapat memiliki Tanah Seberang! Cara mereka ialah dengan jalan cultural conditioning, yakni merusakkan kebudayaan dan sejarah bangsa-bangsa yang bukan Jawa sedikit demi seikit melalui sekolah-sekolah, radio dan televisi (sekarang ditambah lagi dengan media social – penyalin ulang). Mereka, bangsa-bangsa seberang yang mengakui dirinya telah menjadi ‘bangsa indonesia’ dengan tidak sadar sudah menyerahkan kedaulatan atas tanah pusakanya kepada bangsa Jawa, telah memiskinkan dirinya sendiri, mereka adalah orang-orang yang mengidap penyakit jiwa secara collective, bersama-sama, yakni satu ‘krisis identitas’ yang parah sekali, mendekati semacam kegilaan, seperti halnya sipembicara kita, Rivai Harahap. Dan ia masih mencoba memberi ‘pengarahan’ kepada kita bangsa Acheh yang sudah menyatakan kemerdekaan kepada dunia!

Cita-cita ACHEH-SUMATRA MERDEKA dinamakan oleh Rivai Harahap sebagai ‘penyakit lama’ yang sudah terpendam! Rivai Harahap adalah seorang gila yang menyangka orang tanda (symptom) umum dari orang-orang yang sakit jiwa. ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA berdiri tegak diatas identitas kebangsaan Acheh, yang sangat dibanggakan serta dimuliakan, atas Hak Hukum bangsa Acheh terhada Tanah Pusaka yang oleh nenek moyangnya begitu dipertahankan, yang dibenarkan oleh Hukum Internasional, dan peradaban dunia modern, yang mengakui hak setiap bangsa untuk merdeka dan berdaulat; dan yang telah melarang penjajahan dalam bentuk dan rupa apapun. Sikap ini disifatkan sebagai ‘penyakit lama’? Karena sudah mengenal siapa yang berbicara, maka tidak perlu kita berikan ulasan yang lebih jauh dalam soal ini.

Rivai Harahap, sebagai orang Mandailing yang lebih suka hidup dengan orang Jawa dari pada dengan bangsanya sendiri, seperti Adam Malik yang sudah lama pindah ke Jawa, konon juga mengecam ACHEH-SUMATRA MERDEKA. Kedua mereka ini adalah orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memahami arti peradaban (civilization). Konon Adam Malik mengecilkan makna sejarah Acheh yang gilang gemilang itu. Ia tidak pernah mendengar ucapan Schiller, “Die Weltgeschichte Iste Die Weltraricht.” Sejarah Dunia Adalah Mahkamah Dunia! Sejarahlah yang menentukan segala-galanya. Karena sejarah adalah kenyataan yang sudah sempurna terjadi, satu monument yang tidak dapat dirombak lagi sebagai kebesaran dari nenek moyang dan keturunan silam.

Tetapi Rivai Harahap maupun Adam Malik tidaklah mewakili patriot-patriot Mandailing yang tetap mempertahankan nama baik dan kebudayaan Islam mereka di Sumatra dan memegang peranan terpenting sebagai barisan terdepan dalam shaf Ummat Islam.

Rivai Harahap, atau lebih tepat sipenulis pidato Rivai itu bercerita seakan-akan Majapahit Hindu Jawa itu sudah pernah menguasai Acheh dan seluruh bumi Sumatra serta negeri-negeri lain. Nonsense! Majapahit hanya sebuah Kerajaan Hindu Jawa yang kecil di Jawa Timur. Jangankan menguasai hingga ke Acheh, di Pulau Jawa saja tidak seluruhnya dalam kekuasaan Majapahit. Kerajaan Pajajaran berdiri di Pasundan pada waktu yang sama dengan Majapahit di Jawa Timur. Sejarah Jawa? Bagaimana hendak ‘melukisnya’, 350 tahun hidup sebagai budak Belanda tanpa perlawanan yang berarti? Bacalah buku-buku sejarah Belanda untuk mengetahui tindakan apa yang harus diambil oleh Belanda sewaktu menaklukkan Jawa sebalik tindakan apa yang harus diambil oleh Belanda sewaktu mencoba menaklukkan Acheh-Sumatra. Tak dapat dibandingkan. Paul Van ‘t Veer telah menulis dalam bukunya DE ATJEH-OORLOG:

Atjeh was geen Java… het is achter duidelijk dat zich in gchool do Nederlansc invloedssfeer dic losweg eeuw geen enkel vorstendom bevond dat met Atjeh meer dan eel halve eeuw, honderdduizend doden en een half miljard goede 19de-eeuwse gulden hebben het bewwezen. We weten het nu, maar we wisten het niet in 1873, laat staan dar men in Nederland of zelfs Jawa enige idee had wat de Atjehers voor mensen waren.” (p. 76)

Dalam bahasa Melayu:

Acheh bukan Jawa… Sebenarnya sudahlah terang benderang bahwa diseluruh wilayah pengaruh Belanda yang pada umumnya disebut Hindia Belanda dalam abad ke-19, tidak ada satu kerajaanpun yang terdapat disana yang boleh dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lebih lama dari setengah abad, seratus ribu jiwa telah menjadi korban, dan setengah milyar Rupiah Belanda pada abad ke-19 yang sangat berharga itu adalah bukti-buktinya. Kita sudah tahu itu sekarang, tetapi kita tidak tahu ditahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tetap tegak supaya orang-orang di Negeri Belanda, atau di Jawa sendiri mengerti, manusia yang bagaimana Bangsa Acheh itu.” (halaman 76)

Kalau semua ini masih belum cukup sebagai bukti, cobalah Rivai meminta kepada penipunya di pulau Jawa untuk memperlihatkan satu peta dunia yang asli yang pernah menyebut-nyebut Majapahit dan memperlihatkan wilayahnya sebagaimana kami Bangsa Acheh dapat memperlihatkan peta dunia yang asli memperlihatkan batas-batas Kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat sepanjang masa!

Rivai Harahap menuduh ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA telah ‘berkhianat’ kapada bangsa! Dan ia, boneka Jawa ini, tidak dapat ‘memaafkan’ kita. Pengkhiatan kepada bangsa apa? Apa yang dilakukan oleh ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA sudah cukup jelas, tertulis hitam di atas putih dalam PERNYATAAN KEMERDEKAAN ACHEH-SUMATRA. Kita bangsa Acheh, Sumatra duduk di negeri kita sendiri; di rumah kita sendiri; memakan harta kita sendiri. Sudah demikian selama dunia ini terkembang. Pada tahun 1873, Belanda dan Jawa datang menyerang kita. Kita berperang melawan perampok-perampok Belanda/Jawa selama 80 tahun, 40 tahun diantaranya di bawah pimpinan Tengku Tjhik di Tiro dan keturunannya. Pada tahun 1942, Belanda dan serdadu-serdadu Jawa-nya kita usir dari bumi Acheh. Pada tahun 1945 Belanda kembali menduduki Jawa (sesudah diusir oleh Jepang selama 3.5 tahun), tetapi Belanda tidak pernah berani kembali ke Acheh. Pada tahun 1948, semua pemimpin-pemimpin Jawa yang telah mencoba mendirikan ‘republik indonesia-Jawa’ di Jakarta pada tahun 1945 menyerah kepada Belanda mulai dari Sukarno sampai kepada bawahannya. Perjuangan kemerdekaan yang berlarut-larut terlalu berat bagi mereka. Diantara mereka yang menyerah itu terdapat orang-orang Sumatra yang telah di-Rivai Harahap-kan, tegasnya mereka yang tidak menghiraukan lagi kepentingan ekonomi dan politik bangsa-bangsa mereka di Sumatra, dan bersedia melupakannya, asal mereka diberi kedudukan dan kursi-kursi sebagai ‘menteri boneka’ dalam kabinet regime Jawa. Tiba-tiba pada tahun 1949, Sukarno dan konco-konconya dibebaskan oleh Belanda dari tahanan sebab Sukarno sudah berjanji ta’at dan patuh kepada Belanda asal ia dijadikan Presiden ‘republik indonesia’ oleh Belanda. dengan demikian tujuan Belanda untuk membuat ‘republik indonesia’ Jawa itu demikian tujuan Belanda ‘republik indonesia’ Jawa itu sebagai sambungan dari Hindia Belanda untuk menjamin kepentingan ekonomi Belanda di Kepulauan Melayu sudah berhasil. Tidakan ini dirasmikan pada 27 Desember, 1949, Dengan penandan tanganan ‘Perjanjian Meja Bundar’ dimana Belanda ‘menyerahkan kadaulatan’-nya atas apa yang dinamakan dahulu Hindia Belanda ‘republik indonesia’-Jawa. Dengan itu pula maka ‘indonesia’ Jawa disahkan sebagai sambungan dari Hindia Belanda, dengan kewajiban menjalankan politik ekonomi yang sudah ditentukan oleh Belanda dalam perjanjian itu sebagai harga Sukarno boleh menjadi Presiden, dan sekarang Suharto demikian juga. Perjanjian ‘meja bundar’ itu adalah satu akte yang membuktikan bahwa ‘republik indonesia’-Jawa telah menerima harta rampasan dari hasil perampokan Belanda di Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan sebagainya, yang seharusnya Belanda wajib mengembalikannya kepada bangsa-bangsa yang berhak, dari siapa harta-harta dan wilayah-wilayah itu dirampas dahulu. Perjanjian ‘meja bundar’ itu adalah bukti tidak sah-nya kekuasaan ‘republik indonesia’-Jawa sekarang atas wilayah-wilayah diluar Jawa. Sebab itu kami bangsa Acheh wajib merembut kembali hak kami sebagaimana sebelum tahun 1873. Sejarah kami tidak mulai kemarin, tahun 1945, sebagaimana sejarah bangsa Jawa yang tidak mempunyai sejarah sebelumnya. Sekarang Jawa ingin meneruskan penjajahan Belanda, dan menggaji orang-orang seperti Rivai Harahap sebagai bonekanya untuk menindas dan menghina bangsa Acheh demi kepentingan Jawa. Bagaimana pihak yang menuntut hak pusakanya sendiri, di atas tanahnya sendiri, dituduh sebagai ‘pengkhianat’ oleh perampok-perampok yang datang dari luar negeri, dari seberang lautan? ini hal ‘baru’ dalam sejarah perampokan dan perampasan!

Tahukah Rivai apa yang dinamakan ‘bangsa’? Satu bangsa ialah satu rakyat yang hidup dalam satu Negara kepunyaannya sendiri, yang terbukti dengan kenyataannya bahwa orang-orang yang memerintah Negara itu mempunyai identited yang sama dengan rakyat itu sendiri. demikian juga pemerintahannya wajib dilakukan dalam bahasa mereka itu sendiri sesuai dengan adat, agama dan hukum mereka sendiri. (“A nation is a people living in a State of its own the ruling personnel consists individuals who share the main characteristics of this people. Also the administration carried in their language in line with their institutions and custom.”)

Bagi kami rakyat Acheh, yang dinamakan bangsa, ialah Bangsa Acheh! yang dinamakan Negara ialah Negara Acheh, yang telah dinyatakan dan ditegakkan kembali sejak 4 Desember, 1976, sebagai sambungan dari Negara Acheh sejak ribuan tahun yang silam! Itulah Negara yang sesuai dengan indentitas kami. Adapun pihak Jawa penjajah dan antek-anteknya seperti Rivai Harahap yang datang ke Acheh memaksakan dirimu atas kami dengan republik Jawa yang diketuai oleh Suharto dan Buwono, di-‘panglima’-i oleh Sontoloyo, dengan memperalat bahasa Melayu yang sudah dirusakkan – di-kejawen-kan, dengan meneruskan hukum penjajahan Belanda (KUHP), sama sekali tidak mematuhi syarat-syarat identitas satu Negara Kebangsaan bagi Kami Bangsa Acheh, yang menghendaki satu Negara kepunyaan kami sendiri, yang ber-Kepala Negara Bangsa Acheh, ber-Panglima Bangsa Acheh, berbahasa Acheh, berhukum Acheh (Islam), beradat Acheh (Islam), dan berbuat untuk kepentingan Bangsa Acheh dan Islam! Demikianlah dalam sejarah kami sejak ribuan tahun kecuali pada tahun-tahun yang terakhir ini ketika Belanda/Jawa menampakkan dirinya disini. Satu sa’at yang sangan pendek dalam pandangan sejarah Bangsa dan Negara Acheh, sama dengan debu pada kulit kitab yang ribuan lembar tebalnya.

Rivai Harahap berbicara pula tentang apa yang disebutnya ‘sumpah pemuda’. Pertama sekali kita perlu mengetahui ‘identitas’ dari pemuda-pemuda yang konon kabarnya bersumpah itu. Dalam hukum bangsa-bangsa dan negara-negara beradab, sumpah itu hanya mengikat kepada siapa yang bersumpah; tambah lagi sumpah seseorang tidaklah dapat mengganggu hak hukum orang lain, leboh-lebih lagi hak bangsa (national rights) dari orang dan bangsa lain. Kami tidak mengetahui dan tidak peduli pada hukum sumpah bangsa-bangsa yang masih setengah biadab. Yang sudah terang, tidak ada seorang Acheh-pun yang mendapat mandat dari bangsa Acheh untuk bersumpah untuk menjual negeri pusaka nenek moyangnya yang begitu dipertahankan oleh mereka kepada indonesia-Jawa. Ini adalah perkara sia-sia untuk diperdebatkan.

Rupanya ‘claim‘ ke-indonesia-an itu begitu lemah dan irrational sehingga yang bukan-bukanpun dijadikan ‘alasan’ kerena sebenarnya mereka mencoba menegakkan yang bukan-bukan.

Akhirnya ‘pancasila’ dibawa-bawa pula dan ditonjolkan sebagai satu ‘falsafah hidup’. Satu falsafah hidup menghendaki perumusan yang pasti-pasti, yang logic, dari beberapa dasar atau prinsip-prinsip yang kesemuanya tidak boleh bertentangan satu sama lainnya, dan merupakan satu system yang harmonic, yang dapat memberikan Jawaban yang tegas dan pasti terhadap soal-soal kehidupan penganutnya dalam segala lapangan. Ini sama sekali tidak dapat dipenuhi oleh pancasila yang terdiri dari lima soal yang pada hakikatnya saling bertentangan, dan sama sekali tidak tegas apa maksudnya. Umpamanya saja dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang coba menyamakan Islam dengan Tauhid-nya dengan Kristen yang percaya pada ‘tiga serangkai’-nya (trinity), dengan Budha yang tidak ber-Tuhan, dengan tahayul ‘kebatinan’ Jawa (kejawen), dan lain sebagainya. Bagi kita Ummat Islam ini bukan kemajuan, tetapi kemunduran kembali kezaman jahiliah. Kalau Islam diletakkan di bawah pancasila maka Islam bukan Islam lagi! Sebenarnya ‘ketuhanan’ pancasila juga bertentangan dengan prinsip ketuhanan Kristen tetapi kaum Kristen indonesia menerimanya sebab mereka mengharapkan pancasila akan melemahkan Islam. Suatu kesan yang salah sudah ditimbulkan seakan-akan orang Kristen tidak akan mendapat perlindungan dari Ummat Islam di indonesia tidak ada pancasila. Kebalikan dari itu, sejarah dunia telah memperlihatkan bahwa negara-negara Islam-lah yang paling baik memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen di bagian dunia manapun juga. Suatu contoh yang paling menyolok mata tetapi sering dilupakan ialah sampai sekarang, sudah lebih 500 tahun, pusat agama Kristen Orthodox (Eastern Orthodox Church) masih tetap tegak di Istambul, Turki, sebab mendapatkan perlindungan yang istimewa sekali dari Khalifah-khalifah Islam. Sebaliknya Islam-lah yang selalu ditindas dimana orang Kristen menjadi berkuasa, seperti di Andalusia, di Philipina, di Yugoslavia dan malah di indonesia dimasa penjajah Belanda dan sekarang dimasa penjajah Jawa.

Keadilan sosial dalam pancasila telah disebut sebagai satu slogan belaka. Keadilan sosial tidak cukup dengan menyebut namanya saja, tetapi harus disertai system-nya, bagaimana mencapainya? Negara-negara kapital dan negara-negara Komunis juga menyatakan berjutuan mencapai keadilan sosian, tetapi cara mereka sangatlah berbeda-beda. Karena itu mengatakan keadilan sosial saja dengan tidak menunjukkan jalan yang tentu-tentu dan system yang pasti-pasti tidaklah mempunyai arti apa-apa.

Demokrasi, juga yang bagaimana? Negara-negara Barat mengatakan mereka ber-demokrasi; negara-negara Komunis pula mengatakan ber-demokrasi – malah ber-demokrasi rakyat – tegasnya tak jalan lebih baik dari itu. Mana demokrasi pancasila? Yang sudah terang sekarang ialah diktator militer Jawa yang paling kejam, yang menggaji Rivai Harahap sebagai antek-anteknya di Acheh.

Sudah itu, Peri Kemanusiaan, di indonesia? Tidakkah Amnesty International dan Komisi Hak Asasi Manusia dari PBB sudah memberi cap kepada indonesia/Jawa sebagai satu negara yang tidak berperi-kemanusiaan di dunia?

Lantas, ‘Kebangsaan Indonesia’? Kebangsaan apa? Perlu-kah kita beri ulasan lagi? Semua yang masih ragu-ragu bacalah PERNYATAAN KEMERDEKAAN ACHEH-SUMATRA. Dan MASA-DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU. Diterbitkan oleh Kementerian Penerangan, NEGARA ACHEH-SUMATRA. (Bagi mereka yang ingin memperdalam kritik terhadap pancasila kita persilahkan membaca buku DEMOKRASI UNTUK INDONESIA (1958) karangan Dr. Tengku Hasan M. di Tiro).

Untuk menakut-nakutkan orang-orang bodoh dan pengecut, Rivai membanggakan bahwa gerakan-gerakan anti Tuan-nya (Jawa penjajah) dimasa yang sudah-sudah, dan diberinya contoh-contoh yang menyolok, seperti TII, PRRI, dan lain sebagainya, padahal dengan tidak disadarinya ia sendiri yang datang menonjolkan mengapa perjuangan ACHEH-SUMATRA MERDEKA berbeda dan tidak sama dengan gerakan-gerakan yang lalu itu, sebab gerakan-gerakan itu belum matang politik, atau bertujuan lain, sebab mereka tidak melawan konsep bodoh Jawa, malah masih memakai nama ‘indonesia’ diujung nama mereka. Dengan memakai nama ‘indonesia’ dalam melawan ‘indonesia’ pula, mereka sudah membuat perjuangan mereka seakan-akan peranga satu ‘perang saudara’ dan satu ‘masalah dalam negeri’ menurut istilah Hukum Internasional dan pandangan politik dunia, sehingga mereka tidak mungkin me-legal-kan status mereka di luar negeri, dan tidak mungkin mendapat dukungan dunia, apalagi dari PBB yang sama sekali tidak boleh campur urusan dalam negeri anggota-anggotanya. Mereka seperti orang dalam rumah yang menjerit meminta bantuan dari luar, tetapo setelah lebih dahulu dengan sengaja pintu rumahnya sudah dikunci sendiri dari dalam sehingga bantuan dari luar tidak dapat dimasukkan lagi kedalam rumahnya. Mereka masih belum sadar bahwa ‘indonesia’ adalah satu negara penjajah. Karena itu tidak dapat dilawan dengan taktik perang saudara. Negara penjajah hanya dapat dilawan dengan PERANG KEMERDEKAAN NATIONAL LIBERATION yang mempunyai status legal dalam Hukum Internasional dan di PBB; yang tidak dianggap soal ‘dalam negeri’ dan mendapat dukungan dunia. Inilah strategy kebenaran dari perjuangan ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA dalam menegakkan hak luhur kita, dalam menyambung perjuangan nenek moyang mengusir penjajah Belanda yang merampokkannya kini sedang disambung oleh penjajah Jawa.

Rivai mengatakan ACHEH-SUMATRA MERDEKA ambisi seseorang? Jauh panggang dari api. ACHEH-SUMATRA MERDEKA adalah ambisi bangsa Acheh dan ambisi bangsa Sumatra yang lain yang masih mempunyai kehormatan diri, yang sudah sadar kembali kepada identitas mereka untuk hidup merdeka dan berdaulat atas TANAH PUSAKA sendiri yang setiap jengkal sudah berlumuran dengan darah nenek moyang mereka dalam mempertahankan kemerdekaan itu dari serangan kejam Belanda dan Jawa dalam perang hampir satu abad lamanya.

Aluë Bambang,

Acheh, Sumatra

Wilayah Berdaulat, Desember, 1977.

You may also like

Leave a Comment