Home Majalah Jawaban kepada Yusril Ehza Mahendra.

Jawaban kepada Yusril Ehza Mahendra.

by Sjukri Ibrahim
bendera

Jawaban kepada Yusril Ehza Mahendra.

Tahun lalu, 2024, pada hakikatnya tidak lama berselang lama dulu, hanya berselang beberapa bulan dahulu oleh Menteri HAM “indonesia-Jawa”, Yusril Ehza Mahendra kononnya sebagai Menteri Koordinator Hukum dan HAM telah mengeluarkan beberapa pernyataan yang sangat mengkhawatirkan kepada kita manusia yang beradab. Kita tidak mempertikaikan ilmu yang dia dapatkan dengan berbagai gelar dalam budang hukum, pernyataan yang dia keluarkan sangat tidak pantas terhadap kita yang telah terkorban dan akan dikorbankan sebagai anak jajahan. Hanya orang yang tidak beradab dapat membuat pernyaatan ini. Sikap ini dengan jelas sebagai penjajah yang menyambung dari penjajahan Belanda dulu.

Pada CNN Indonesia 21 Oktober, 2024, Judul berita “Yusril Sebut Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Berat” menyatakan “Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/10). Ini penafian yang sangat tidak bermoral sama sekali. Bagaimana mereka menafikan pelanggaran HAM berat bahkan “cleansing ethnics” – pembinasaan bangsa yang telah terjadi selama mereka menamakan dirinya “merdeka” semenjak tahun 1945 biarpun sebenarnya mereka menjajah negeri-negeri dan bangsa-bangsa lain di dunia Melayu ini.

Sangat memalukan jika masih berani dia mengatakan bahwa “hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat”. Apakah mereka menutup mata dengan apa yang telah mereka lakukan terhadap anak-anak jajahan yang mereka akui sendiri sebagai bangsa mereka? Kita kilas balik apa yang telah terjadi dan menjadi sejarah kelam terhadap kita, dan mereka tidak mau bertanggung jawab sama sekali. Sebab mereka adalah pembunuh bangsa yang berdarah dingin. Kita buka mata mereka supaya tahu apa yang telah mereka buat dan kita lihat juga bagaimana mereka mencuci tangan yang berlumuran darah terhadap bangsa kita.

Kita tidak menceritakan dengan secara detail tentang apa yang telah mereka lakukan terhadap bangsa Acheh pada suatu masa. Secara umum mengetahui apa yang telah terjadi Alue Ie Nireh, Krueng Tuan, Lhok Nibong, Sama Dua, Beutong Ateueh, Geudung KNPI Aceh Utara, Idi Tjut, Kandang, Peudada, Rumoh Gudong, Simpang KKA, Bumi Flora, Relawan LSM RATA dan banyak lagi yang tidak mampu kita sebutkan disini.

Yang kita sebutkan di atas hanya kasus dalam sekitar akhir tahun 1990an sampai awal 2000an. Jika kita kaji kesejarah yang lebih jauh, akan terkuak lagi pertumpahan darah yang telah mereka lakukan terhadap bangsa Acheh dan dunia Melayu lainnya.

Lihatlah, apa yang mereka lakukan masa PKI? Dengan semena-mena mereka membunuh rakyat yang tidak berdosa dengan alasan sebagai penyokong PKI. PKI yang hanya berkembang pesat di pulau Jawa sahaja itupun tidak seluruhnya, hanya sedikit di Sumatra dan sama sekali tidak diterima di Acheh sebab sangat berlawanan dengan prinsip dan sikap kehidupan orang Acheh, walaupun begitu sangat banyak orang Acheh yang dibunuh dengan alasan PKI dan pihak “indonesia” tidak mahu menyelidiki apalagi bertanggung jawab terhadap pembunuhan tersebut.

Di Acheh sendiri banyak pertumpahan darah yang telah mereka lakukan dengan dalih “keamanan”. Keamanan yang mereka sebut adalah nestapa bagi bangsa Acheh sendiri. Selama Acheh berdiri sebagai satu Negara yang makmur tidak pernah ada sejarah yang tidak aman. Kami tidak pernah aman semenjak mereka dari seberang datang ke Acheh dan membuat kekacauan. Bagaimana bisa ada kedamaian di Acheh dengan mereka membawa senjata api – bedil – ke Acheh? Bagaimana bisa aman dengan membawa aturan dari seberang yang kami sendiri tidak paham dengan aturan nenek moyang mereka yang tidak pernah diakui dunia tersebut? Sebab biarpun secara sepihak mereka mengakui Acheh adalah sebagai bagian dari mereka, maka semua yang terjadi di Acheh adalah tanggung jawab mereka. Apa lagi yang terjadi itu adalah bperbuatan yang diperintahkan dari Jakarta sendiri. Mereka memerintah, memberikan perintah, mereka lakukan lalu mereka menyembunyikan tangan. Bak kata pepatah orang tua kita dulu “Lempar batu sembunyikan tangan”. Ini bukan sekadar lempar batu sembunyikan tangan, ini adalah bunuh mereka kita dan sembunyilah di Jakarta. Kenyataannya begitu.

Buka lagi sejarah tentang DI-TII di Acheh. Pada itu ada petinggi Acheh yang mahu mengikuti “indonesia” sebagai pusat. Karena kebijakan Jakarta sangat merugikan Acheh dan orang Acheh masih bersih hati mengakui dalam bingkai “indonesia” dan menamakan diri sebagai pengikut DI-TII yang masih terselip Indonesia didalamnya. Jika kita lihat dari hukum kewarga-negaraan, orang Acheh masa itu adalah warga “indonesia” yang memberontak. Jika warga negara yang memberontak apakah harus dibunuh? Walau pada hakikatnya memberontak ini karena ketidak puasan terhadap kebijakan Jakarta.

Pada ketika inilah terjadi peritiwa Pulot Tjot Djeumpa pada 26 Februari dan 4 Maret 1955. Pembantaian ratusan warga sipil yang tidak bersenjata. Apakah rakyat sipil yang tidak bersenjata juga dikatagorikan sebagai pemberontak? Ini tidak akan pernah terjadi jika hal ini terjadi di Jawa. Semua yang Jawa lakukan di Jawa adalah “kebenaran” semata dan tidak boleh dibantah oleh siapapun. Apakah ini terjadi masa penjajahan? Benar ini adalah masa penjajahan “indonesia-Jawa” di Acheh. Jika tidak mengaku sebagai penjajah bertanggung jawablah. Atau sebab menjajah maka ini tidak dapat di-“catagory”-kan pelanggaran HAM. Penjajah tidak pernah mengakui pembasmian bangsa itu sebagai pelanggaran HAM. INGAT anak jajahan tidak pernah diakui sebagai manusia dan dapat diberlakukan dengan semena-mena.

Bahkan mereka sendiri sangat pandai bersilat lidah untuk melepaskan tanggung jawab terhadap keluarga korban atau malah terhadap bangsa yang telah mereka hancurkan. Dengan mudahnya mereka berdalih “oh itu adalah perbuatan Orde Lama”. “Oh itu adalah perbuatan Orde Baru”. Oh itu adalah perbuatan masa Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo, Jokowi dan lain seterusnya sampai masa akan datang selama kita masih dalam jajahan mereka. Yang sangat jelas mereka tidak mahu bertanggung jawab terhadap kesalahan besar yang mereka lakukan sendiri. Dengan begitu “pemerintahan sekarang” seolah-olah terlepas dari sejarah kelam terhadap kita yang dijajahnya. Dasar tidak beradab.

Sebagai pemerintahan yang beradab diluar. Perlakuan pemerintah Canada, dengan resmi mengatakan “Today, the Honourable Gary Anandasangaree, Minister of Crown–Indigenous Relations, on behalf of the Government of Canada, formally apologized to Aundeck Omni Kaning, M’Chigeeng, Sheguiandah, Sheshegwaning and Zhiibaahaasing First Nations for past wrongs relating to the Crown’s mismanagement of their monies in the late 1800s and the negative impacts experienced by the five communities as a result”.(Hari ini, Yang Terhormat Gary Anandasangaree, Menteri Hubungan antara Mahkota-Pribumi, atas nama Pemerintah Kanada, secara resmi meminta maaf kepada Bangsa Pertama Aundeck Omni Kaning, M’Chigeeng, Sheguiandah, Sheshegwaning, dan Zhiibaahaasing atas kesalahan masa lalu yang berkaitan dengan kesalahan pengelolaan uang mereka oleh Mahkota pada akhir tahun 1800-an dan dampak negatif yang dialami oleh kelima komunitas sebagai akibatnya. Mereka dengan tegak meminta maaf atas kesalahan pengaturan keuangan bangsa Asli Canada.
“On Wednesday June 11, 2008, the Prime Minister of Canada, the Right Honourable Stephen Harper, made a Statement of Apology to former students of Indian Residential Schools, on behalf of the Government of Canada.” “Pada Rabu 11 June, 2008, Perdana Menteri Canada, Yang Terhormat Stephen Harper, menyampaikan Pernyataan Permohonan Maaf kepada mantan siswa Sekolah Asrama Indian, atas nama Pemerintah Kanada.” Permintaan maaf ini karena kesalahan dalam pengelolaan sekolah berasrama yang meracuni pikiran anak-anak asli Canada untuk membenci bangsa Aslinya sendiri. Bagaimana dengan anak-anak orang Acheh yang telah dihilangkan rasa dan pikirannya sebagai Bangsa Acheh dan dijadikan pemikiran anak jajahan? Jangankan untuk minta maaf terhadap apa yang dilakukan, malah masih terus dilakukan sekarang.
Jika kita mahu, bisa kita lihat bagaimana bangsa-bangsa beradap lainnya mahu mengakui kesalahannya dan meminta maaf terhadap apa yang telah dilakukan. Contohnya Pemerintah California meminta maaf kepada Bangsa Asli Amerika terhadap pembasnian ethnics, antara tahun 1846-1843, Belgia untuk bangsa Kongo, Australia terhadap bangsa Aborigin, Argentina, Mexico dan berpuluh-puluh negara lain mengakui kesalahan silam mereka. Kenapa? Jawabnya karena mereka masih beradap. Apakah “indonesia-Jawa” sangat tidak beradab (biadab) sehingga tidak perlu minta maaf?
Berdiri tegaklah, angkat kepala, terhormatlah dan akui yang “indonesia-Jawa” adalah penjajah dan untuk mengekalkan penjajahan maka kami bunuhlah mereka yang tidak mau mengakui kami sebagai penjajah. Ini sangat terhormat.

Biro Penerangan Acheh-Sumatra Merdeka
Syukri Ibrahim

pdf Jawab kepada Yusril Mahendra

You may also like

Leave a Comment