admin
JAWABAN KEPADA RIVAI HARAHAP
Rivai Harahap, orang luar yang datang ke Acheh dan menamakan dirinya “Panglima” Kodam I/Iskandar Muda (seakan-akan Pemerintahan Iskandar Muda Meukuta Alam pernah menerima perintah dari Jawa) telah datang ke wilajah Pidie pada bulan Mai, 1977, dan berpidato di hadapan pemuka-pemuka masyarakat Acheh bagian Pidie. Isi pidato yang demikian bodohnya hingga merupakan penghinaan kepada kecerdasan pendengar-pendengarnya. Rivai Harahap menyangka orang-orang Acheh masih begotu bodoh sehingga dia berani datang ‘memberi pengarahan’ kepada kita. Dan ia berbicara dengan memakai kata-kata ‘kami’ menunjukkan kepada dirinya sendiri – suatu kesombongan yang keterlaluan bagi seorang pendatang dari luar, apa lagi bagi seorang boneka Jawa, menurut sopan santun bahasa Melayu, bahasa yan dipakainya. Rupanya Harahap begitu bangga dengan pidatonya itu, hingga pidato tersebut dicetak menjadi buku dengan uang rakyat dan anehnya pula buku itu tidak dicetak di Acheh, Sumatra, tetapi di Jawa, supaya keuntungan dari biaya cetak jatuh ke tangan bangsa Jawa pula. Sipenjajah Jawa ingin memeras kita sampai kepada tetes keuntungan yang penghabisan!
Isi pidato RIvai Harahap penuh dengan kata-kata ‘demokrasi’, ‘bangsa’, ‘identitas’, ‘Acheh Merdeka’, ‘’majapahit’, ‘pengkhianat’, ‘sumpah pemuda’, ‘pancasila’ dan sebagainya. Kita meragukan kalau Rivai Harahap tidak tahu apa yang keluar dari mulutnya atau tidak sadar Pidatonya ditulis oleh orang Jawa.¨
Mengenai ‘demokrasi’ Harahap mengaku bahwa di Acheh, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang menang dalam Pemilu dengan mendapat 642,900 suara dan Golkar kalah dengan mendapat 460,761 suara. Tetapi ia sendiri yang membuat kesimpulan sebagai berikut, (yang kita petik dari bukunya sendiri): “Jadi akhirnya perimbangan kursi di DPRD-I Acheh menjadi PPP 18 kursi, Golkar 21!” dengan perkataan lain PPP yang mendapat suara terbanyak, tetapi Golkar yang menang! Inikah yang disangka Rivai Harahap sebagai demokrasi? Dikatakannya lagi, “Pemilu untuk membentuk badan Legislatif, bukan untuk membentuk badan Eksekutif.” Tidakkah diketahui oleh Rivai bahwa dasar-fasar pokok demokrasi yang menghendaki Pemilu-lah yang wajib menentukan segala-galanya, baik mengenai Legislatif, maupun mengenai Eksekutif? Dan tambahan lagi, Eksekutif wajib selalu dibawah Legislatif!
Rivai berbicara pula tentang ‘identitas’, satu kata-kata asing, bukan bahasa Melayu. Tahukan ia apa artinya? Kita sangsikan. Kata-kata ‘identitas’ adalah dari bahasa latin. Dalam bahasa Inggeris ‘identity’; dalam bahasa Perancis ‘identité’. Artinya ialah sifat-sifat (characters) yang tidak dapat diubah-ubah pada seseorang, atau pada suatu bangsa, karena berhubungan dengan keturunan dan darah (genetics) dari yang bersangkutan. Misalnya ambillah si-pembicara kita sendiri yang datang memberikan ‘pengarahan’-nya yakni Rivai Harahap sendiri. Apakah ‘identitas’ manusia ini? Ia seorang Mandailing, karena ia telah dilahirkan oleh ibu-bapa Mandailing. Hal ini tidak diubah-ubahnya, karena itulah maka menjadi ‘identitas’-nya. Dari perkembangan sejarah yang sudah ribuan tahun maka bangs aini sudah mempunyai sifat-sifat yang menyendiri dan bentuk rupa yang dapat dikenal dan dapat dibeda-bedakan dari bangsa-bangsa lain yang disebut dalam bahasa Inggeris ’characteristic’ yakni sifat-sifat dari genetic-nya, demikian juga keturunan sebagaimana nenek moyangnya. Inilah ‘identitas’ mereka. Bangsa-bangsa yang beradab. Bila seseorang merasa malu pada “identitas’-nya, itulah tanda-tanda ida menghadapi penyakit jiwa. Penyakit jiwa yang terlalu parah, yang extreme, yang menyebabkan kehilangan ‘identitas’ diri yang total, disebut dalam bahasa Melayu dengan kata-kata ‘gila’ – seseorang yang tidak mengenal dirinya sendiri lagi – kehilangan ‘identitas’ atau gila 50% sebab sekurang-kurangnya memang bangsa Jawa itu ada dan masih satu kenyataan. Tetapi kalau Rivai Harahap sebagaimana keadaannya sekarang – mengatakan ia sudah menjadi satu ‘bangsa indonesia’ – yang tidak ada sama sekali genetics dan identitas-nya, maka penyakit jiwanya lebih parah lagi, menjadi 100% dalam arti politik dan kebudayaan, sebab ‘bangsa indonesia’ itu tidak ada (orangnya tidak ada dan negerinya pun tidak ada) alias tidak ‘identitasnya’-nya, tidak ada genetic-nya, tidak ada bahasanya, tidak ada tanahnya. ‘Indonesia” itu hanya nama khayal semata-mata, negeri Entah-ber-Entah, dipropagandakan oleh orang-orang Jawa supaya mereka boleh pindah ke negeri-negeri bangsa lain, dan supaya diterima oleh bangsa-bangsa bukan Jawa yang sudah diperbodoh itu.
Semua bangsa-bangsa di dunia ini mempunyai ‘identitas’ mereka sendiri-sendiri yang bergantung pada genetics mereka, yang dijelmakan dalam bentuk rupa, warna kulit, dan rambut yang tentu-tentu. Tetapi siapakah yang dinamakan ‘bangsa Indonesia” itu? Apakah ‘identitas’ mereka? Bagaimana warna kulit mereka? Bagaimana rambut mereka? Bagaimana characteristics bentuk muka dan badannya? Mana tanahnya? Mana sejarahnya? Mana bangsanya? Yang saudara baca ini bukan ‘bahasa indonesia’ tetapi bahasa Melayu, hasil ribuan tahun kebudayaan Melayu dan bukan ciptaan tiba-tiba tahun 1945). Apakah ‘orang indonesia’ itu berambut keriting, atau berambut lurus? Berhidung mancung atau pesek? Kalau dijawab bentuk itu semua masuk ‘indonesia’ juga, maka itu bukan ‘identitas’ lagi sebab semua peradaban yang kita sebutkan di atas adalah ketentuan-ketentuan ilmiah yang dipakai oleh ilmu-ilmu anthropology, ethnology dan sociology sebagai tanda-tanda perbedaan identitas diantasa bangsa-bangsa di dunia ini. Kalau semua hal itu dicampur-adukkan dan dipandang sebagai bukan identitas, maka seluruh dunia boleh di-indonesia-kan (tidak ada orang yang mau). Sebenarnya pertanyaan “siapa orang Indonesia itu?” tidak dapat dijawab secara ilmiah, karena yang dinamakan ‘bangsa indonesia’ oleh orang-orang Jawa itu tidak ada menurut ilmu anthropology (asal usul manusia), ethnology (asal usul bangsa), sociology (ilmu masyarakat), history (ilmu sejarah). Karena ‘bangsa indonesia’ itu tidak ada maka identitas-nya pun tidak boleh diadakan secara ilmiah, secara khusus atau exclusive. Sedang ilmu philology (ilmu bahasa) mengatakan bahwa bahasa Jawa itu sendiri tidaklah termasuk dalam rumpun bahasa Melayu! Dan dimana gerangan ‘indonesia’ itu? Pulau Sumatra adalah milik bangsa-bangsa Sumatra seperti Acheh, Tapanuli, Minangkabau, Melayu dan lain-lain; Kalimantan hak milik bangsa-bangsa Kalimantan; Sulawesi milik bangsa-bangsa Sulawesi; Maluku milik bangsa Maluku; Papua milik bangsa Papua; Pasundan milik bangsa Sunda; Bali milik bangsa Bali; Madura milik bangsa Madura; hanya Jawa tengah dan Sebagian Jawa Timur milik bangsa Jawa. Hak milik ini telah ditentukan oleh sejarah negeri-negeri dan bangsa-bangsa itu sendiri sejak ribuan tahun, – sebelum nama ‘indonesia’, nama import dibawah tapak kaki sipenjajah Barat yang pernah terdengar disini.
Sebagaimana tidak adanya ‘bangsa indonesia’, maka demikian juga tidak ada ‘negeri indonesia’ apalagi ‘negara indonesia’ yang sesungguhnya. Yang disebut ‘republik indonesia’ sekarang hanyalah penjajahan Jawa belaka sebagai sambungan legal dari penjajahan Jawa belaka sebagai sambungan legal dan penjajahan yang tidak legal itu. Kenyataan bahwa ‘republik indonesia’ Jawa ini semata-mata didasarkan atas ‘penjajahan kedaulatan’ dari sipenjajah Belanda, berarti retroactive membenarkan penjajahan Belanda, membuatnya bukan satu negara hukum sama sekali. Dalam Hukum Internasional: Ex injuria jus non oritur. Negara hukum tidak dapat dilahirkan oleh negara yang tidak berdasarkan hukum. Tegasnya satu negara yang menerima kedaulatannya dari Hindia Belanda yang tidak berdasarkan hukum itu bukanlah negara hukum. Lagipula menurut Hukum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) negara-negara penjajah tidaklah mempunyai kedaulatan atas tanah jajahannya. Karena itu bagaimana Belanda boleh pura-pura menyerahkan kedaulatan yang tidak pernah dipunyainya atas negeri-negeri kita kepada republik Indonesia-jawa di Jakarta? Nemo dat quot non habet. Orang tidak boleh memberikan apa yang dia sendiri tidak mempunyainya! Oleh karena itu kedaulatan atas pulau-pulau luar Jawa adalah masih bulat, penuh, sempurna dalam tangan bangsa-bangsa penduduk asli itu sendiri masing-masing, hanya sayang sekali kebanyakan mereka sudah dibodohkan, digilakan dengan diruntuhkan identitas mereka oleh penjajah Jawa sebagaimana telah dibuatnya atas diri Rivai Harahap, membuatnya tidak menghargai dirinya sendiri, dan menggantikan identitas darahnya, wilayahnya (yang dapat diperiksa dan dipastikan dibawah microscope setiap waktu) dengan ‘identitas’ pura-pura yang ditempelkan orang-orang Jawa atas pundaknya untuk dapat membuat orang-orang seperti Rivai yang sangat sedrhana itu menyerahkan tanah pusaka nenek moyangnya – yang dahulu dipertahankan oleh mereka dengan sekuat tenaga – kepada si Jawa kolonialis dengan percuma!
Jadi Rivai Harahap-lah yang sedang menderita penyakit jiwa yang disebut identity crisis, yakni penyakit hilang ingatan dan kesadaran yang telah menyebabkannya tidak sanggup lagi memisahkan mana yang kenyataan (reality) dan mana yang fantasy. Inilah krisis identitas yang telah diciptakan oleh propagandis-propagandis Jawa selama 23 tahun ‘merdeka’ dibawah telapak kaki mereka, supaya mereka dapat memiliki Tanah Seberang! Cara mereka ialah dengan jalan cultural conditioning, yakni merusakkan kebudayaan dan sejarah bangsa-bangsa yang bukan Jawa sedikit demi seikit melalui sekolah-sekolah, radio dan televisi (sekarang ditambah lagi dengan media social – penyalin ulang). Mereka, bangsa-bangsa seberang yang mengakui dirinya telah menjadi ‘bangsa indonesia’ dengan tidak sadar sudah menyerahkan kedaulatan atas tanah pusakanya kepada bangsa Jawa, telah memiskinkan dirinya sendiri, mereka adalah orang-orang yang mengidap penyakit jiwa secara collective, bersama-sama, yakni satu ‘krisis identitas’ yang parah sekali, mendekati semacam kegilaan, seperti halnya sipembicara kita, Rivai Harahap. Dan ia masih mencoba memberi ‘pengarahan’ kepada kita bangsa Acheh yang sudah menyatakan kemerdekaan kepada dunia!
Cita-cita ACHEH-SUMATRA MERDEKA dinamakan oleh Rivai Harahap sebagai ‘penyakit lama’ yang sudah terpendam! Rivai Harahap adalah seorang gila yang menyangka orang tanda (symptom) umum dari orang-orang yang sakit jiwa. ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA berdiri tegak diatas identitas kebangsaan Acheh, yang sangat dibanggakan serta dimuliakan, atas Hak Hukum bangsa Acheh terhada Tanah Pusaka yang oleh nenek moyangnya begitu dipertahankan, yang dibenarkan oleh Hukum Internasional, dan peradaban dunia modern, yang mengakui hak setiap bangsa untuk merdeka dan berdaulat; dan yang telah melarang penjajahan dalam bentuk dan rupa apapun. Sikap ini disifatkan sebagai ‘penyakit lama’? Karena sudah mengenal siapa yang berbicara, maka tidak perlu kita berikan ulasan yang lebih jauh dalam soal ini.
Rivai Harahap, sebagai orang Mandailing yang lebih suka hidup dengan orang Jawa dari pada dengan bangsanya sendiri, seperti Adam Malik yang sudah lama pindah ke Jawa, konon juga mengecam ACHEH-SUMATRA MERDEKA. Kedua mereka ini adalah orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak memahami arti peradaban (civilization). Konon Adam Malik mengecilkan makna sejarah Acheh yang gilang gemilang itu. Ia tidak pernah mendengar ucapan Schiller, “Die Weltgeschichte Iste Die Weltraricht.” Sejarah Dunia Adalah Mahkamah Dunia! Sejarahlah yang menentukan segala-galanya. Karena sejarah adalah kenyataan yang sudah sempurna terjadi, satu monument yang tidak dapat dirombak lagi sebagai kebesaran dari nenek moyang dan keturunan silam.
Tetapi Rivai Harahap maupun Adam Malik tidaklah mewakili patriot-patriot Mandailing yang tetap mempertahankan nama baik dan kebudayaan Islam mereka di Sumatra dan memegang peranan terpenting sebagai barisan terdepan dalam shaf Ummat Islam.
Rivai Harahap, atau lebih tepat sipenulis pidato Rivai itu bercerita seakan-akan Majapahit Hindu Jawa itu sudah pernah menguasai Acheh dan seluruh bumi Sumatra serta negeri-negeri lain. Nonsense! Majapahit hanya sebuah Kerajaan Hindu Jawa yang kecil di Jawa Timur. Jangankan menguasai hingga ke Acheh, di Pulau Jawa saja tidak seluruhnya dalam kekuasaan Majapahit. Kerajaan Pajajaran berdiri di Pasundan pada waktu yang sama dengan Majapahit di Jawa Timur. Sejarah Jawa? Bagaimana hendak ‘melukisnya’, 350 tahun hidup sebagai budak Belanda tanpa perlawanan yang berarti? Bacalah buku-buku sejarah Belanda untuk mengetahui tindakan apa yang harus diambil oleh Belanda sewaktu menaklukkan Jawa sebalik tindakan apa yang harus diambil oleh Belanda sewaktu mencoba menaklukkan Acheh-Sumatra. Tak dapat dibandingkan. Paul Van ‘t Veer telah menulis dalam bukunya DE ATJEH-OORLOG:
“Atjeh was geen Java… het is achter duidelijk dat zich in gchool do Nederlansc invloedssfeer dic losweg eeuw geen enkel vorstendom bevond dat met Atjeh meer dan eel halve eeuw, honderdduizend doden en een half miljard goede 19de-eeuwse gulden hebben het bewwezen. We weten het nu, maar we wisten het niet in 1873, laat staan dar men in Nederland of zelfs Jawa enige idee had wat de Atjehers voor mensen waren.” (p. 76)
Dalam bahasa Melayu:
“Acheh bukan Jawa… Sebenarnya sudahlah terang benderang bahwa diseluruh wilayah pengaruh Belanda yang pada umumnya disebut Hindia Belanda dalam abad ke-19, tidak ada satu kerajaanpun yang terdapat disana yang boleh dibandingkan dengan Acheh. Ini kita tahu sekarang. Satu peperangan yang lebih lama dari setengah abad, seratus ribu jiwa telah menjadi korban, dan setengah milyar Rupiah Belanda pada abad ke-19 yang sangat berharga itu adalah bukti-buktinya. Kita sudah tahu itu sekarang, tetapi kita tidak tahu ditahun 1873. Biarlah kenyataan-kenyataan ini tetap tegak supaya orang-orang di Negeri Belanda, atau di Jawa sendiri mengerti, manusia yang bagaimana Bangsa Acheh itu.” (halaman 76)
Kalau semua ini masih belum cukup sebagai bukti, cobalah Rivai meminta kepada penipunya di pulau Jawa untuk memperlihatkan satu peta dunia yang asli yang pernah menyebut-nyebut Majapahit dan memperlihatkan wilayahnya sebagaimana kami Bangsa Acheh dapat memperlihatkan peta dunia yang asli memperlihatkan batas-batas Kerajaan Acheh yang merdeka dan berdaulat sepanjang masa!
Rivai Harahap menuduh ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA telah ‘berkhianat’ kapada bangsa! Dan ia, boneka Jawa ini, tidak dapat ‘memaafkan’ kita. Pengkhiatan kepada bangsa apa? Apa yang dilakukan oleh ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA sudah cukup jelas, tertulis hitam di atas putih dalam PERNYATAAN KEMERDEKAAN ACHEH-SUMATRA. Kita bangsa Acheh, Sumatra duduk di negeri kita sendiri; di rumah kita sendiri; memakan harta kita sendiri. Sudah demikian selama dunia ini terkembang. Pada tahun 1873, Belanda dan Jawa datang menyerang kita. Kita berperang melawan perampok-perampok Belanda/Jawa selama 80 tahun, 40 tahun diantaranya di bawah pimpinan Tengku Tjhik di Tiro dan keturunannya. Pada tahun 1942, Belanda dan serdadu-serdadu Jawa-nya kita usir dari bumi Acheh. Pada tahun 1945 Belanda kembali menduduki Jawa (sesudah diusir oleh Jepang selama 3.5 tahun), tetapi Belanda tidak pernah berani kembali ke Acheh. Pada tahun 1948, semua pemimpin-pemimpin Jawa yang telah mencoba mendirikan ‘republik indonesia-Jawa’ di Jakarta pada tahun 1945 menyerah kepada Belanda mulai dari Sukarno sampai kepada bawahannya. Perjuangan kemerdekaan yang berlarut-larut terlalu berat bagi mereka. Diantara mereka yang menyerah itu terdapat orang-orang Sumatra yang telah di-Rivai Harahap-kan, tegasnya mereka yang tidak menghiraukan lagi kepentingan ekonomi dan politik bangsa-bangsa mereka di Sumatra, dan bersedia melupakannya, asal mereka diberi kedudukan dan kursi-kursi sebagai ‘menteri boneka’ dalam kabinet regime Jawa. Tiba-tiba pada tahun 1949, Sukarno dan konco-konconya dibebaskan oleh Belanda dari tahanan sebab Sukarno sudah berjanji ta’at dan patuh kepada Belanda asal ia dijadikan Presiden ‘republik indonesia’ oleh Belanda. dengan demikian tujuan Belanda untuk membuat ‘republik indonesia’ Jawa itu demikian tujuan Belanda ‘republik indonesia’ Jawa itu sebagai sambungan dari Hindia Belanda untuk menjamin kepentingan ekonomi Belanda di Kepulauan Melayu sudah berhasil. Tidakan ini dirasmikan pada 27 Desember, 1949, Dengan penandan tanganan ‘Perjanjian Meja Bundar’ dimana Belanda ‘menyerahkan kadaulatan’-nya atas apa yang dinamakan dahulu Hindia Belanda ‘republik indonesia’-Jawa. Dengan itu pula maka ‘indonesia’ Jawa disahkan sebagai sambungan dari Hindia Belanda, dengan kewajiban menjalankan politik ekonomi yang sudah ditentukan oleh Belanda dalam perjanjian itu sebagai harga Sukarno boleh menjadi Presiden, dan sekarang Suharto demikian juga. Perjanjian ‘meja bundar’ itu adalah satu akte yang membuktikan bahwa ‘republik indonesia’-Jawa telah menerima harta rampasan dari hasil perampokan Belanda di Acheh-Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan sebagainya, yang seharusnya Belanda wajib mengembalikannya kepada bangsa-bangsa yang berhak, dari siapa harta-harta dan wilayah-wilayah itu dirampas dahulu. Perjanjian ‘meja bundar’ itu adalah bukti tidak sah-nya kekuasaan ‘republik indonesia’-Jawa sekarang atas wilayah-wilayah diluar Jawa. Sebab itu kami bangsa Acheh wajib merembut kembali hak kami sebagaimana sebelum tahun 1873. Sejarah kami tidak mulai kemarin, tahun 1945, sebagaimana sejarah bangsa Jawa yang tidak mempunyai sejarah sebelumnya. Sekarang Jawa ingin meneruskan penjajahan Belanda, dan menggaji orang-orang seperti Rivai Harahap sebagai bonekanya untuk menindas dan menghina bangsa Acheh demi kepentingan Jawa. Bagaimana pihak yang menuntut hak pusakanya sendiri, di atas tanahnya sendiri, dituduh sebagai ‘pengkhianat’ oleh perampok-perampok yang datang dari luar negeri, dari seberang lautan? ini hal ‘baru’ dalam sejarah perampokan dan perampasan!
Tahukah Rivai apa yang dinamakan ‘bangsa’? Satu bangsa ialah satu rakyat yang hidup dalam satu Negara kepunyaannya sendiri, yang terbukti dengan kenyataannya bahwa orang-orang yang memerintah Negara itu mempunyai identited yang sama dengan rakyat itu sendiri. demikian juga pemerintahannya wajib dilakukan dalam bahasa mereka itu sendiri sesuai dengan adat, agama dan hukum mereka sendiri. (“A nation is a people living in a State of its own the ruling personnel consists individuals who share the main characteristics of this people. Also the administration carried in their language in line with their institutions and custom.”)
Bagi kami rakyat Acheh, yang dinamakan bangsa, ialah Bangsa Acheh! yang dinamakan Negara ialah Negara Acheh, yang telah dinyatakan dan ditegakkan kembali sejak 4 Desember, 1976, sebagai sambungan dari Negara Acheh sejak ribuan tahun yang silam! Itulah Negara yang sesuai dengan indentitas kami. Adapun pihak Jawa penjajah dan antek-anteknya seperti Rivai Harahap yang datang ke Acheh memaksakan dirimu atas kami dengan republik Jawa yang diketuai oleh Suharto dan Buwono, di-‘panglima’-i oleh Sontoloyo, dengan memperalat bahasa Melayu yang sudah dirusakkan – di-kejawen-kan, dengan meneruskan hukum penjajahan Belanda (KUHP), sama sekali tidak mematuhi syarat-syarat identitas satu Negara Kebangsaan bagi Kami Bangsa Acheh, yang menghendaki satu Negara kepunyaan kami sendiri, yang ber-Kepala Negara Bangsa Acheh, ber-Panglima Bangsa Acheh, berbahasa Acheh, berhukum Acheh (Islam), beradat Acheh (Islam), dan berbuat untuk kepentingan Bangsa Acheh dan Islam! Demikianlah dalam sejarah kami sejak ribuan tahun kecuali pada tahun-tahun yang terakhir ini ketika Belanda/Jawa menampakkan dirinya disini. Satu sa’at yang sangan pendek dalam pandangan sejarah Bangsa dan Negara Acheh, sama dengan debu pada kulit kitab yang ribuan lembar tebalnya.
Rivai Harahap berbicara pula tentang apa yang disebutnya ‘sumpah pemuda’. Pertama sekali kita perlu mengetahui ‘identitas’ dari pemuda-pemuda yang konon kabarnya bersumpah itu. Dalam hukum bangsa-bangsa dan negara-negara beradab, sumpah itu hanya mengikat kepada siapa yang bersumpah; tambah lagi sumpah seseorang tidaklah dapat mengganggu hak hukum orang lain, leboh-lebih lagi hak bangsa (national rights) dari orang dan bangsa lain. Kami tidak mengetahui dan tidak peduli pada hukum sumpah bangsa-bangsa yang masih setengah biadab. Yang sudah terang, tidak ada seorang Acheh-pun yang mendapat mandat dari bangsa Acheh untuk bersumpah untuk menjual negeri pusaka nenek moyangnya yang begitu dipertahankan oleh mereka kepada indonesia-Jawa. Ini adalah perkara sia-sia untuk diperdebatkan.
Rupanya ‘claim‘ ke-indonesia-an itu begitu lemah dan irrational sehingga yang bukan-bukanpun dijadikan ‘alasan’ kerena sebenarnya mereka mencoba menegakkan yang bukan-bukan.
Akhirnya ‘pancasila’ dibawa-bawa pula dan ditonjolkan sebagai satu ‘falsafah hidup’. Satu falsafah hidup menghendaki perumusan yang pasti-pasti, yang logic, dari beberapa dasar atau prinsip-prinsip yang kesemuanya tidak boleh bertentangan satu sama lainnya, dan merupakan satu system yang harmonic, yang dapat memberikan Jawaban yang tegas dan pasti terhadap soal-soal kehidupan penganutnya dalam segala lapangan. Ini sama sekali tidak dapat dipenuhi oleh pancasila yang terdiri dari lima soal yang pada hakikatnya saling bertentangan, dan sama sekali tidak tegas apa maksudnya. Umpamanya saja dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang coba menyamakan Islam dengan Tauhid-nya dengan Kristen yang percaya pada ‘tiga serangkai’-nya (trinity), dengan Budha yang tidak ber-Tuhan, dengan tahayul ‘kebatinan’ Jawa (kejawen), dan lain sebagainya. Bagi kita Ummat Islam ini bukan kemajuan, tetapi kemunduran kembali kezaman jahiliah. Kalau Islam diletakkan di bawah pancasila maka Islam bukan Islam lagi! Sebenarnya ‘ketuhanan’ pancasila juga bertentangan dengan prinsip ketuhanan Kristen tetapi kaum Kristen indonesia menerimanya sebab mereka mengharapkan pancasila akan melemahkan Islam. Suatu kesan yang salah sudah ditimbulkan seakan-akan orang Kristen tidak akan mendapat perlindungan dari Ummat Islam di indonesia tidak ada pancasila. Kebalikan dari itu, sejarah dunia telah memperlihatkan bahwa negara-negara Islam-lah yang paling baik memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen di bagian dunia manapun juga. Suatu contoh yang paling menyolok mata tetapi sering dilupakan ialah sampai sekarang, sudah lebih 500 tahun, pusat agama Kristen Orthodox (Eastern Orthodox Church) masih tetap tegak di Istambul, Turki, sebab mendapatkan perlindungan yang istimewa sekali dari Khalifah-khalifah Islam. Sebaliknya Islam-lah yang selalu ditindas dimana orang Kristen menjadi berkuasa, seperti di Andalusia, di Philipina, di Yugoslavia dan malah di indonesia dimasa penjajah Belanda dan sekarang dimasa penjajah Jawa.
Keadilan sosial dalam pancasila telah disebut sebagai satu slogan belaka. Keadilan sosial tidak cukup dengan menyebut namanya saja, tetapi harus disertai system-nya, bagaimana mencapainya? Negara-negara kapital dan negara-negara Komunis juga menyatakan berjutuan mencapai keadilan sosian, tetapi cara mereka sangatlah berbeda-beda. Karena itu mengatakan keadilan sosial saja dengan tidak menunjukkan jalan yang tentu-tentu dan system yang pasti-pasti tidaklah mempunyai arti apa-apa.
Demokrasi, juga yang bagaimana? Negara-negara Barat mengatakan mereka ber-demokrasi; negara-negara Komunis pula mengatakan ber-demokrasi – malah ber-demokrasi rakyat – tegasnya tak jalan lebih baik dari itu. Mana demokrasi pancasila? Yang sudah terang sekarang ialah diktator militer Jawa yang paling kejam, yang menggaji Rivai Harahap sebagai antek-anteknya di Acheh.
Sudah itu, Peri Kemanusiaan, di indonesia? Tidakkah Amnesty International dan Komisi Hak Asasi Manusia dari PBB sudah memberi cap kepada indonesia/Jawa sebagai satu negara yang tidak berperi-kemanusiaan di dunia?
Lantas, ‘Kebangsaan Indonesia’? Kebangsaan apa? Perlu-kah kita beri ulasan lagi? Semua yang masih ragu-ragu bacalah PERNYATAAN KEMERDEKAAN ACHEH-SUMATRA. Dan MASA-DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU. Diterbitkan oleh Kementerian Penerangan, NEGARA ACHEH-SUMATRA. (Bagi mereka yang ingin memperdalam kritik terhadap pancasila kita persilahkan membaca buku DEMOKRASI UNTUK INDONESIA (1958) karangan Dr. Tengku Hasan M. di Tiro).
Untuk menakut-nakutkan orang-orang bodoh dan pengecut, Rivai membanggakan bahwa gerakan-gerakan anti Tuan-nya (Jawa penjajah) dimasa yang sudah-sudah, dan diberinya contoh-contoh yang menyolok, seperti TII, PRRI, dan lain sebagainya, padahal dengan tidak disadarinya ia sendiri yang datang menonjolkan mengapa perjuangan ACHEH-SUMATRA MERDEKA berbeda dan tidak sama dengan gerakan-gerakan yang lalu itu, sebab gerakan-gerakan itu belum matang politik, atau bertujuan lain, sebab mereka tidak melawan konsep bodoh Jawa, malah masih memakai nama ‘indonesia’ diujung nama mereka. Dengan memakai nama ‘indonesia’ dalam melawan ‘indonesia’ pula, mereka sudah membuat perjuangan mereka seakan-akan peranga satu ‘perang saudara’ dan satu ‘masalah dalam negeri’ menurut istilah Hukum Internasional dan pandangan politik dunia, sehingga mereka tidak mungkin me-legal-kan status mereka di luar negeri, dan tidak mungkin mendapat dukungan dunia, apalagi dari PBB yang sama sekali tidak boleh campur urusan dalam negeri anggota-anggotanya. Mereka seperti orang dalam rumah yang menjerit meminta bantuan dari luar, tetapo setelah lebih dahulu dengan sengaja pintu rumahnya sudah dikunci sendiri dari dalam sehingga bantuan dari luar tidak dapat dimasukkan lagi kedalam rumahnya. Mereka masih belum sadar bahwa ‘indonesia’ adalah satu negara penjajah. Karena itu tidak dapat dilawan dengan taktik perang saudara. Negara penjajah hanya dapat dilawan dengan PERANG KEMERDEKAAN NATIONAL LIBERATION yang mempunyai status legal dalam Hukum Internasional dan di PBB; yang tidak dianggap soal ‘dalam negeri’ dan mendapat dukungan dunia. Inilah strategy kebenaran dari perjuangan ANGKATAN ACHEH-SUMATRA MERDEKA dalam menegakkan hak luhur kita, dalam menyambung perjuangan nenek moyang mengusir penjajah Belanda yang merampokkannya kini sedang disambung oleh penjajah Jawa.
Rivai mengatakan ACHEH-SUMATRA MERDEKA ambisi seseorang? Jauh panggang dari api. ACHEH-SUMATRA MERDEKA adalah ambisi bangsa Acheh dan ambisi bangsa Sumatra yang lain yang masih mempunyai kehormatan diri, yang sudah sadar kembali kepada identitas mereka untuk hidup merdeka dan berdaulat atas TANAH PUSAKA sendiri yang setiap jengkal sudah berlumuran dengan darah nenek moyang mereka dalam mempertahankan kemerdekaan itu dari serangan kejam Belanda dan Jawa dalam perang hampir satu abad lamanya.
Aluë Bambang,
Acheh, Sumatra
Wilayah Berdaulat, Desember, 1977.
Geurakan Atjèh Meurdéhka
Meudjeulih Geurakan Atjèh Meurdéhka Pusat
åPeukara : Surat Angkèë Keutuha Birô Peuneutrang
Ukeuë Syukri Ibrahim
dalam lindôngan Po-teuh Allah
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Deungon ta meulakèë lindông nibak Po-teuh Allah dan deungon izin Allah, ulôn Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro seubagoë Keutuha Meudjeulih GAM Pusat deungon njoë meu-angkèë:
Syukri bin Ibrahim
Akan geumat neuduëk seubagoë Keutuha Birô Peuneutrang Meudjeulih GAM Pusat deungon had watèë njang akan ta peuteuntèë teuma. Deungon ka meuteubiët Surat Angkèë njoë maka tanggông djaweuëb tugaih nibak njang ka meuteuntèë njan akan geumat ulêh njang ka meuseubôt nan di ateuëh.
Geutanjoe meulakèë ukeuë mandum beu geubantu dalam peudjak tugaih peurdjuangan dan bèk na njang djeuët keu bantah seureuta djeuët keu haba peusuna. Surat Angkèë njoë meupeuteubiët deungon meutjok peuneutôh dalam musjawarah meudjeulih. Ta meulakèë beu Allah bri mudah bak peudjak buët sutji geutanjoë.
Hudêp beusarê, Matê beusadjan
Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro
28ub Boh Kajèë 1443H/31ub Djanuari 2022M
Uroë njoë geutanjoë peu-ingat uroë sjahid Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman bin Abdullah njang keu 131 thôn. Sidroë pahlawan Neugara Atjèh njang that kha, teugaih, bidjaksana dan`adé dalam pimpin prang. Gop njan geukeureubeuën peuë njang na bak droëgeuh keu Agama, Bansa dan Neugara Atjèh. Watèë peuneuphôn peu-ék prang, geupeubloë ka rap mandum hareuta geuh untuk biaja prang. Hana geu-ingat peukara pribadi meubatjut pih, keupeunténgan nasional Atjèh njang geupiké. Deungon seubab njan gop njan djeuët ta kheun seubagoë rôh dalam salah sidroë Pahlawan njang that kha njang na di Atjèh.
Deungon ta meulakèë lindông nibak Po-teuh Allah dan deungon izin Allah, ulôn Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro seubagoë Keutuha Meudjeulih GAM Pusat
Deungon ta meulakèë lindông nibak Po-teuh Allah dan deungon izin Allah, ulôn Tengku Musanna Abdul Wahab di Tiro seubagoë Keutuha Meudjeulih GAM Pusat deungon njoë meu-angkèë:
- Tengku Sulaiman Abdul Razak di Tiro
- Teungku Sulaiman Ilham Abdul Ghani
Akan geumat neuduëk seubagoë Djuru Haba (Juru Bicara) Meudjeulih GAM Pusat deungon had watèë njang akan ta peuteuntèë teuma. Deungon ka meuteubiët Surat Angkèë njoë maka tanggông djaweuëb tugaih nibak njang ka meuteuntèë njan akan geumat ulêh njang ka meuseubôt nan di ateuëh, beu Allah bri mudah bak peudjak buët sutji geutanjoë.
Hudêp beusarê, Matê beusadjan
Yusuf Kalla: 11 Konflik Besar Akibat Tidak Adil, Aceh Salah Satunya
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Saleuem silaturrami, meu-tjhen sereuta meubahgia keu bandum bansa ulontuan bansa Atjeh mulia di barangkapat pih ateueh rhueng donja Allah njoe.
Peureulee that bandum geutanjoe bansa Atjeh ta ingat bahwa peukara buet peurdjuangan geutanjoe bansa Atjeh kon semata-mata persoalan asoe pruet lagee njang dji klaim uleh Jusuf Kalla.
Meutapi peukara keubangkitan popular bangsa Atjeh sampoe an uroenjoe nakeueh nakeuh saboh geurakan politek peu-teuntee nasib droe nibak peundjadjahan bansa luwa teuka ateueh entiti politek, peumerintahan dan sosial budaya bansa Atjeh mulai nibak thon 1945 lheueh habeh era kolonialisme bansa Belanda dari Barat dan dari sudut pandang hukum internasional dan hukum internasional hak asasi manusia di geneva sereuta hukum nasional Atjeh ka meugantoe lom teuma deungon peundjadjahan kolonialisme bansa Djawa dari Asia ateuh keudaulatan saboh bansa Atjeh njang meurdehka, ateueh tjara hudep, ateueh agama, ateueh tatanan sosial, adat, budaya, reusam sereuta qanun bansa Atjeh.
Saban-saban geutanjoe ta peu beudoh keusadaran politek geutanjoe bansa Atjeh bandum bahawa persoalan gerakan politek peurdjuangan geutanjoe sabe na dalam saboh skop njang luwaih lageena ateueh isu hudep dan mate, mulia dan hina saboh entiti politek dan peumerintahan saboh bansa rajek dan mulia sereuta meu-peuradaban lambong ateueh rhueng donja njoe.
Persoalan entiti politek Neugara, kesultanan dan pemeurintahan Atjeh nakeueh saboh asai usui peuradaban dan kehormatan dunia melaju di tanoh melaju, sumatra, jawa barat, pattani, champa kemboja, keuradjeuen sulu dan laen². Neugara dan kesultanan Atjeh ibarat aduen agam paleng tuha di negeri² bawah angen alam dunia melaju.
Wallahua’lam Bisshawab …..
Tengku Sulaiman Abdul Razak
Anggeta Madjeulih GAM Pusat.
22 Januari 2002 – 22 Januari 2022
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kru Seumangat !!!
Bandum pudjoë meuwoe keu Po teuh Allah. Seulaweuët dan saleuëm njang lambông ta peu-ét keu Pang Ulèë geutanjoë, Nabi Muhammad Sallallahu ’alaihi wasallam beuseurta deungon ahli keuluarga dan sahabat2 droëneuhnjan.
Bak watee ta seutot peudjuangan Angkatan Atjeh Meurdehka dan GAM ateueh tanoh meu-deelat Neugara Islam Atjeh, salah sidroe nibak peumimpin sayap militer Angkatan Atjeh Meurdehka njang karismatik dan berkaliber serta peunoh deungon kontroversial nakeuh Panglima Tengku Abdullah Syafi’ie njang leubeh mesra dji-hoi le ureueng Atjeh Tengku Lah. Beliau njan nakeueh sidroe Panglima Angkatan Atjeh Meurdehka njang that dji-horeumat dan dji-seugan uleh kawan dan lawan.
Seumoga beuneupeuduëk sadjan aulia dan anbija, beuneupeu-ampôn dèësja dan beuluwaih kubu. Hana tuwô tjit di geutanjoë saban2 ta peutrôk sikrèk Al fatihah keu droëneuhnjan beuseurta deungon bandum ulama2 njang ban neuwoë bak Allah chususdjih dan sjuhada2 njang laén. Al fatihah.
Beliau lahe bak uroe 12 Oktober 1947 di Wilajah Batee Iliek (Bireuen) dan teuma dudoe neu meu-kawen u daerah cubo Pidie Jaya sigolom Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad neu angkee droeneuh njan sibagoe Panglima Angkatan Atjeh Meurdehka.
“Di Nanggroe Atjeh dumpeue geu-uko deungon seunipat Islam. Islam nakeuh bahagian njang handjeuet peu-meungkleh nibak droe Bansa Atjeh, lagee dzat handjeuet peu-meungkleh ngon sipheuet. Keue geutanjoe Atjeh, Islam meu-makna Atjeh dan Atjeh meu-makna Islam. Meunjo Atjeh saboh pawon, maka blahdeh nibak pawon njan njankeuh Islam. Atjeh nakeueh saboh bansa njang geu-peudong ateueh neuduek Islam, dan geu-hudep deungon Islam. Njan keuh meunan ka leubeh seuribee thon dalam seudjarah geutanjoe njang ka meu-tuleh. Uleh ibnu Chaldun ka geu-tuleh dalam kitan geuh njang mesjeuhu, Muqaddimat (Abad keu-15) bahwa bak watee gobnjan, bansa Atjeh nakeuh bansa Islam njang paleng kong meu-mat bak agama Islam dan keuradjeuen Atjeh nakeuh kekuasaan Islam njang paleng raya kuasa di Asia-Timu. Bahthatpih geutanjoe djinoe ka gadoh keumeurdekaan teuh siat sabab peudjadjahan kaphe Beulanda dan kaphe Indonesia-Jawa, bansa Atjeh mantong geu-mumat bak Islam lagee endatu geuh djameuen kon. Trok-an Angkatan Atjeh Meurdehka handjeuet han phon that na saboh geurakan keumeurdehkaan Islam” (Jum Meurdehka, Wali Neugara Paduka Njang Mulia Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad, pp. 153-154)
Maka sabab njan keuh uleh Tengku Abdullah Syafi’ie that konsisten dan ichlaih bak neu mumat bak geunareh peurdjuangan fi Sabilillah untok peudong neugara Islam Atjeh njang teu glong ateueh ideologi peu-gisa keulai Deelat Allah dan Rasulullah SAW. Bak watee droeneuh ka dji-keupong dan dji timbak uleh Teuntra Indonesia Djawa maka bak watee njan droeneuh neu kheun keu salah sidroe peungawal droeneuhnjan “Njoe ka trok njang lon lakee. Njoe ka trok watee njang lon preh-preh”.
Karakter dan sipheuet alamiah Tengku Lah njang that ramah dan toe deungon masjarakat serta nasihat dan peuringatan droeneuh njan meu kumat dalam hate sibarangkasoe njang kalon dan deungo sampoe-an lahee rasa sajang dan tjinta masjarakat keu sosok Tgk Lah sibagoe Panglima Angkatan Atjeh Meurdehka. Meunantjit droeneuh njan that kong neu meumat bak aturan dan disiplin angkatan prang Atjeh Meurdehka dan hana neu-tem se meu sipade pih bak neu-peutimang amanah dan mandat njang ka neu-peugulam uleh Paduka Njang Mulia Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad.
Na haba angen njang dji-pot djikheuen bahwa Pimpinan Politik Gerakan Atjeh Meurdehka) GAM njang ban dji-angkee bak watee njan merasa kureueng seunang deungon peundekatan Tgk Lah njang hana neu meupakat sapeue deungon pimpinan politek GAM untuk peugot peurtemuan sitjara rahasia di teumpat njang meu-kleh deungon tokoh-tokoh politisi Indonesia, deungon artis dan deungon wartawan-wartawan untuk dji-wawancara.
Meunan tjit, bak uroe keudjadian dji-keupong dan seurangan ateueh kem Djiem-Djiem Wilajah pidie droeneuh reubah dji timbak uleh serdadu Sipa-i Djawa dan syahid di teumpat. Meunan peurumoh droeneuh njan Cut Fatimah sjahid tjit diteumpat meusigo deungon 2 droe peungawal. Keudjadian seurangan dan teumimbak njan djeuet keu saboh isu dan pembahasan njang kontroversial di kalangan pedjuang meu-seundjata njang seutia keu Tgk Lah, meunantjit dikalangan para simpatisan dan pengamat-pengamat lapangan mideuen prang bak watee njan sampoe-an uronjoe.
“Geutanjoe Atjeh nakeuh saboh bansa ateuh rhueng donja. Saboh bansa hudep sabe bahthat pih anggeeta sidroe-droe mate, saboh bansa teutap lagee sot, bahthat pih keuturunan meugantoe-gantoe, saboh bansa hana tuha, sabe muda, bahthat pih sidroe-droe anggeeta djeeuet keu tuha, sabab njan geutanjoe bansa Atjeh bak masa njoe saban tjit deungon bansa Atjeh bak masa 100 thon atawa 1000 thon njang ka u likot, atawa ukeue, endatu geutanjoe njang ka mate ka ta gantoe le geutanjoe, geutanjoe akan djigantoe le aneuk tjutjo njang akan lahe, meunan keuh trok an ache donja” (Atjeh Bak Mata Donja, Wali Neugara Paduka Njang Mulia Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad, pp. 57)
Kisah epik dan kepahlawanan Tengku Abdullah Syafi’ie @ Tgk Lah sibagoe sidroe nibak anggeeta bansa Atjeh akan djeuet keu bungong djaroe keu generasi-generasi pahlawan bansa Atjeh di masa ukeue sibagoe saboh tjara hudep bansa meudehka, tjara mate bansa mulia, kedisiplinan, integriti dan ichlaih dalam ta sambong buet peurdjuangan sutji fi Sabilillah njoe sampoe-an teu dong keulai kalimah tayyibah La’ilahaillah, Muhammad Rasulullah ateueh nanggroe pusaka peunulang endatu njang seb tjeudaih njoe, Neugara Islam Atjeh.
Djak saban-saban ta renungi wasiet tjeudaih njoe nibak Alm. Panglima Tengku Abdullah Syafi’ie untuk saban-saban ta peu gleh hate dan niet teuh untok ta sambong buet sutji peurdjuangan peu-bibeueh dan peu-meurdehka nanggroe Atjeh mulia dan meu-deelat njoe.
“Nibak saboh uroe watee ka neudeungo ulontuan ka sjahid, bek meurasa seudih dah patah seumangat. Ulontuan sabe munadjat keu Po Teuh Allah beu neu-djok sjahid keu ulontuan watee nanggroe Atjeh njoe karab meurdehka. Ulon hana meu lakee sapeue pih watee nanggroe Atjeh ka meurdehka”
Wallahua’alam Bisshawab.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Tengku Sulaiman Abdul Razak
Anggeta Madjeulih GAM Pusat
“SERUAN KEPADA BANGSA-BANGSA SUMATERA KE-2”
Oleh:
Tengku Hasan M. di Tiro
Wali Negara Acheh-Sumatera Merdeka
Saya berterima kasih banyak atas sambutan hangat yang sudah Saudara-saudara berikan di seluruh Sumatera atas Seruan saya yang pertama, yang bernama “SUMATERA SIAPA PUNYA?” beberapa waktu yang lalu. Ini bermakna saya tidaklah “bertepuk sebelah tangan”! Hari ini saya ucapkan selamat datang kepada ANGKATAN RIAU MERDEKA, ANGKATAN JAMBI MERDEKA dan ANGKATAN MINANG MERDEKA kedalam barisan SUMATERA MERDEKA!
Hari ini saya datang untuk mengundang dan menjemput Saudara-saudara pulang ke Rumah Adat kita masing-masing, pusaka dari nenek-moyang, untuk menjadi Tuan lagi disana!
Sumatera adalah Pulau Emas yang sudah diberikan kepada kita oleh Tuhan! Darah kita, darah-ibu-bapa, dan darah nenek-moyang kita tertumpah disini waktu kelahiran dan waktu kematian dalam mempertahankannya dari serangan penjahat-penjahat asing dari seberang lautan yang ingin merampas Pulau Emas ini dari tangan kita: dahulu bangsa Belanda; sekarang bangsa Jawa.
Disinilah kuburan ibu-bapa, nenek-moyang, dan kawan-kawan kita yang setia – membuatnya menjadi Tanah Suci bagi kita – yang wajib kita pertahankan dengan segala tenaga dan jiwa sebagaimana telah mereka lakukan.
Jika Saudara-saudara mau harta dan kekayaan maka tidak ada tanah yang lebih kaya di dunia ini dari Tanah ibu kita. Belum lama berselang, semua kenderaan bermotor di seluruh dunia rodanya berputar atas getah perca Sumatera. Sekarang roda mesin ekonomi dan industri dunia digerakkan oleh gas dan minyak yang ada di Sumatera menjadi sumber NOMOR SATU di dunia.
Tetapi harta pusaka kita ini sedang disikat dan dirampok habis-habisan oleh bandit-bandit Jawa yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa imperialis Barat, dari dahulu sampai sekarang, sebagai serdadu upahan mereka untuk menguasai sumber-sumber gas dan minyak tanah kita untuk dijual murah kepada mereka. Bandit-bandit Jawa ini menamakan diri sebagai “pemerintah” terhadap kita sedang bangsa-bangsa imperialis Barat memandang mereka hanya “sebagai gerombolan polisi untuk mencegah rakyat dari berontak” (“Seen as a police force that would stop the people from rebelling“sebagai ditulis oleh Brian May, dalam bukunya The Indonesian Tragedy (London, 1978).
Menurut perhitungan orang luar, dalam beberapa tahun akhir ini saja, bandit-bandit Jawa mendapat 23,000 juta Dollar Amerika dari pencurian gas Acheh yakni: sebanyak 1 juta meter kubik setiap hari, belum terhitung harga minyak tanah se-Sumatera yang dicuri 1½ juta baril setiap hari, tambah emas, perak, timah, dan lain seterusnya. (Handelsblad, Amsterdam, 6 November, 1993). Ditahun yang lalu saja 368,000 hectare tanah kayu-kayuan Sumatera ditanduskan oleh bandit-bandit Jawa dengan menjual kayu-kayunya keluar negeri (Far Eastern Economic review, 10 Mart, 1994).
Ini menunjukkan betapa gentingnya keadaan. Tidak ada lagi waktu yang dapat di buang-buang. Kita wajib bertindak sekarang untuk menyelamatkan apa yang dapat kita selamatkan dari harta pusaka kita. Sebenarnya kita sudah terlambat, tetapi belum terlambat sama sekali, kalau berbuat sekarang juga!
Kita bangsa-bangsa Sumatera terlalu lambat belajar, terlalu lambat berpikir, terlalu lambat bertindak yang akhirnya membawa kepada kehancuran kita sendiri, karena gagal mempergunakan kesempatan-kesempatan yang tiba. Semua yang lambat adalah bodoh; semua yang cepat itulah yang cerdik. Karena kita lambat ini, maka 17 kesempatan untuk merdeka sudah kita sia-siakan dan lepas dari tangan kita sejak Perang Dunia kedua:
Ketika Belanda dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942 dan Sumatera terlepas dari tangannya;
Ketika Jepang dikalahkan oleh Amerika Serikat ditahun 1945 dan Sumatera lepas lagi dari tangannya;
Ketika Acheh sudah merdeka de facto antara tahun-tahun 1945-1950, yang seharusnya sudah meminta jadi anggota PBB dengan syarat-syarat yang cukup 100% dan tidak ada sanggahan dari pihak manapun jua; Belanda sudah resmi tidak berani kembali lagi, sedang bandit-bandit Jawa di Jakarta masih belum dapat berdiri sendiri, mereka tegak berkat bantuan uang dan senjata dari Acheh; bendera ‘merah-putih’ hanya berkibar di Acheh; seluruh pulau Jawa dan ‘indonesia’ mereka sudah duduki kembali oleh Belanda;
Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia-Jawa pada 27 Desember, 1949, seharusnya Sumatera sudah dikembalikan kepada kita tetapi kita gagal menuntutnya karena kita didalangi oleh quisling-quisling sebagai “pemimpin”;
Ketika Maluku Selatan menyatakan kemerdekaan dari Indonesia-Jawa pada 25 April, 1950;
Ketika gerakan DI terjadi di Jawa antara tahun-tahun 1951 – 1956;
Ketika Malaysia mendapat kemerdekaan dari Inggeris pada 31 Agustus, 1957;
Ketika terjadi Gerakan PDRI melawan Sukarno ditahun-tahun 1958-1960; Saya menganjurkan untuk menyatakan Sumatera Merdeka pada waktu itu tetapi ditentang oleh quisling-quisling Sumatera yang jiwa mereka sudah diperbudakkan oleh bandit-bandit Jawa;
Ketika Indonesia-Jawa menyerang Papua Barat pada tahun 1959;
Ketika terjadi ‘Konfrontasi’ antara Indonesia-Jawa dengan Malaysia di tahun-tahun 1961-1965;
Ketika Singapura merdeka dari Malaysia pada 9 Augustus, 1965;
Ketika terjadi perebutan kuasa antara PKI dengan golongan serdadu-serdadu upahan yang didalangi Suharto pada tahun 1965;
Ketika Indonesia-Jawa menyerang Timor Timur pada bulan Desember, 1975;
Ketika Angkatan Acheh-Sumatera Merdeka menyatakan kemerdekaan Acheh dari Indonesia-Jawa pada 4 Desember, 1976;
Ketika bangsa-bangsa Baltik, Estonia, Latvia, dan Lituania menyatakan kemerdekaan dari Uni Soviet pada tahun 1991;
Ketika bangsa-bangsa dibawah penjajahan Uni Soviet, dari Eropa Timur sampai ke Asia Tengah – dari Ukraina sampai ke Tadjikistan – menyatakan kemerdekaan mereka di tahun 1992;
Ketika Yugoslavia – semacam ‘indonesia’ di benua Eropa – hancur lebur pada tahun 1992 karena bangsa-bangsa yang dijajahnya selama ini: Bosnia, Croatia, Slovenia, Macedonia memerdekakan diri dari penjajahan bangsa Serbia yang menjajah mereka atas nama ‘Yugoslavia’ sebagai bangsa Jawa menjajah kita atas nama ‘Indonesia’.
Semua kejadian-kejadian politik yang diatas merupakan riak gelombang Sejarah yang mempunyai pengaruh atas pendapat umum di dunia, yang akhirnya turut menetukan nasib sesuatu bangsa: merdeka atau dijajah. Atas semua itu bangsa-bangsa Sumatera telah tidak menghiraukan dan ketiduran dalam arti politik. Bangunlah! Kesempatan-kesempatan itu masih akan datang lagi!
Kita sudah terlalu lama membiarkan bandit-bandit Jawa memisahkan kita dari perkembangan politik dan budaya dunia, sehingga kita seakan-akan hidup atas planet yang lain, terpisah jauh dari perkembangan politik dan budaya dunia ini. Hukum Internasional seakan-akan tidak berlaku disini, dan hak setiap bangsa untuk merdeka seakan-akan tidak ada. Kita bukan saja sudah dipisahkan dari masyarakat dunia internasional oleh bandit-bandit Jawa itu, tetapi kita telah dapat dipisahkan pula dari satu sama lain! Hal ini tidak boleh kita biarkan berlaku walaupun satu hari lagi!
Dibagian dunia yang lain, yang sama luasnya dengan Indonesia seperti Amerika Tengah dan Kepulauan Caribian, terdapat 31 buah negara-negara merdeka yaitu: Mexico, Cuba, Haiti, Dominican Republic, Jamaica, Puerto Rico, Anguilla, Saint Kit-Nevis, Antigua, Monserrat, Guadalupe, Dominica, Martinique, Saint Lucia, Saint Vincent, Barbados, Grenada, Trinidad & Tobago, Surinam, Guyana, Venezuela, Colombia, Ecuador, Panama, Costa Rica, Nicaragua, Honduras, El Salvador, Belize, Bahamas dan Virgin Islands. Tiga puluh satu negara merdeka dan berdaulat dalam satu wilayah yang lebih kecil dari Indonesia-jawa!
Diseluruh dunia ini hanya masih ada satu negara penjajahan yang masih belum dibubarkan dan masih diteruskan. Negara penjajahan ini didirikan dengan membunuh nenek-moyang kita dan masih diteruskan oleh turunan upahan itu dengan membunuh saudara-saudara kita. Tanah jajahan Belanda tidak pernah dibubarkan dan tidak pernah dimerdekakan. Hanya namanya saja yang diganti, dari ‘Nederlandsch Indie’ menjadi ‘Indonesia’ dan sipenjajah Belanda diganti dengan sipenjajah Jawa, yang menjadi kaki-tangan Belanda dari dahulu sampai sekarang.
Tahukah Saudara-saudara bagaimana maka Belanda dapat melakukan penjajahannya atas negeri kita? Belanda hanya membawa 10% tentaranya dari negeri Belanda ke Sumatera, sedang yang 90% lagi terdiri dari bangsa-bangsa Jawa, Sunda, Madura, Ambon dan Menado. Bangsa-bangsa serdadu upahan ini, yang mencari makan sebagai pembunuh kita dan mereka digaji oleh Belanda, yang akhirnya menamakan diri mereka “bangsa Indonesia”, sesudah Belanda pergi, untuk dapat meneruskan negara penjajahannya yang berpura-pura sebagai negara dari satu ‘bangsa merdeka’.
Ketika kita bangsa-bangsa Sumatera bersedia membuang nama baik bangsa-bangsa kita sendiri, yang bersejarah, beradat, dan beradab itu, yang kita terima dari nenek-moyang yang penuh kemuliaan, yang tidak pernah mengizinkan kita untuk hidup sebagai serdadu pembunuh upahan, untuk terjun dalam kancah pergaulan dibawah serdadu-serdadu upahan, pembunuh nenek-moyang kita sendiri, dalam satu ‘mercenary society’ alias ‘Indonesia’ itu, maka kita sudah menuju kehancuran dan kebinasaan. Sebab kita sudah mendurhakai segala yang mulia yang kita terima dalam darah kita!
Bagaimanakah kita dapat mengharapkan hidup dengan ketinggian moral dan akhlak dibawah ‘pimpinan’ serdadu-serdadu upahan dan pembunuh-pembunuh makan gaji? Bagaimana kita bisa mengharapkan keadilan dengan pimpinan mereka yang hidup dari perkosaan dan perampokan? Bagaimana kita bisa mangharapkan kejujuran dari bangsa-bangsa serdadu upahan yang hidup mereka, dari nenek-moyang mereka, berdasarkan atas ketiadaan rasa-keadilan dan korupsi? Dengan menamakan diri, dengan nama palsu “Indonesia”, kita bangsa-bangsa Sumatera sudah menghina diri-sendiri dan nenek-moyang kita, yang berakibat kehilangan kehormatan, kehilangan negeri, kehilangan kekayaan dan kehilangan nyawa.
Sekarang penyakit dan kejahatan bangsa-bangsa serdadu upahan itu sudah menular kepada bangsa-bangsa Sumatera sehingga sudah banyak bangsa-bangsa Sumatera yang dengan tidak malu-malu lagi telah terjun kedalam kancah kehidupan serdadu-serdadu upahan Jawa, untuk membunuh bangsa-bangsa mereka sendiri di Sumatera atas perintah bandit-bandit Jawa dan konco-konco mereka yang sudah saya sebut tadi. Hal ini yang tak pernah dapat dilakukan oleh Belanda dahulu, tetapi sudah berhasil dilakukan oleh bandit-bandit Jawa sekarang. Satu bukti bahwa moral dan akhlak bangsa-bangsa Sumatera pun sudah mulai merosot. Ribuan pemuda-pemuda Sumatera konon sudah menjadi serdadu upahan Jawa untuk membunuh sesama Sumatera sendiri. Kita sudah melihat pasukan-pasukan Batak, Minang, Mandailing dikirim untuk membunuh bangsa Acheh Merdeka; dan pasukan Acheh dikirim untuk ‘mengamankan’ wilayah-wilayah Sumatera yang lain, dengan maksud mengadu-domba kita sesama kita, agar persatuan bangsa-bangsa Sumatera tidak dapat terjalin lagi sehingga bangsa-bangsa Sumatera tidak bersatu untuk melawan sipenjajahnya, Jawa.
Bagaimanakah budaya atau culture dari bangsa serdadu upahan tersebut yang sudah berhasil dimasukkan kedalam otak tiap-tiap bangsa di Sumatera?
Lewat apa yang mereka namakan “pendidikan” atau “sekolah-sekolah” Indonesia-Jawa, yang sebenarnya bukanlah pendidikan tetapi hanya “brain-washing” alias pembodohan, dan pemalsuan segala ilmu di dunia untuk membuat orang-orang kita percaya kepada propaganda bandit-bandit Jawa. Dalam sekolah-sekolah ‘Indonesia’, tinggi maupun rendah, tidak boleh diajarkan ilmu-ilmu yang sesungguhnya, sebab semua ilmu akan membawa kepada kebenaran; dan tiap-tiap yang membawa kepada kebenaran akan berbahaya kepada ‘pemerintah’ bandit-bandit Jawa, sebab akan membuka mata bangsa-bangsa yang sudah mereka tipu dan jajah. Yang bisa dijajah mereka hanyalah bangsa-bangsa yang diperbodohnya.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak boleh mengajar Ilmu Bumi (geography) yang sesungguhnya, sebab itu akan memperlihatkan ketiadaan alasan dari konsep bodoh ‘geography Indonesia’ itu sendiri.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak boleh mengajar Sejarah yang sebenarnya (history), sebab itu akan memperlihatkan kebohongan ‘sejarah Indonesia’ yang mereka karang selama ini.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak boleh mengajar Ilmu Hukum yang sesungguhnya, sebab itu akan memperlihatkan bahwa ‘Indonesia-Jawa’ bukanlah negara yang berdasarkan hukum.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak boleh mengajar Ilmu Hukum Internasional, sebab itu akan memperlihatkan bahwa ‘Indonesia-Jawa’ tidak mempunyai hak legal untuk memerintah wilayah-wilayah luar Jawa, yang dijajahnya sekarang dengan kekerasan senjata.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak bisa mengajar Ilmu Politik (political science), sebab itu akan mengajar bangsa-bangsa yang mereka jajah bagaimana menyusun pemerintah yang baik dan bagaimana mendirikan negara demokrasi. Dan kalau bangsa-bangsa Kepulauan Melayu tahu ini maka “Indonesia-Jawa” tidak bisa berdiri lagi.
Sekolah-sekolah ‘Indonesia’ tidak bisa mengajar anthropology atau sociology, sebab itu akan memperlihatkan kebohongan besar mereka, yang telah mengada-ngadakan bangsa pura-pura “indonesia” dan menamakan bangsa-bangsa yang mereka jajah sebagai “suku bangsa” mereka.
Ambillah misalnya masalah demokrasi. Bandit-bandit Jawa sudah mempermain-mainkan kita dengan kata-kata ‘demokrasi’ itu, sudah lebih setengah abad lamanya untuk dapat meneruskan penjajahan mereka atas kita. Demokrasi bermakna pemerintahan dengan persetujuan dari mereka yang diperintahi. Kita bangsa-bangsa Sumatera tidak pernah memberikan persetujuan kepada bandit-bandit Jawa yang kita kenalpun tidak, untuk memerintah kita. Dan pemerintahan demokrasi untuk Sumatera wajib berpusat atas bumi Sumatera sendiri dan sekali-kali tidak boleh berpusat di seberang lautan! Apalagi di bawah tangan bandit-bandit Jawa dan serdadu-serdadu upahan mereka, termasuk quisling-quisling dari Sumatera!
Apa yang bandit-bandit Jawa ajarkan kepada kita hanyalah kebodohan. Tujuan “pendidikan” atau “sekolah-sekolah” ‘Indonesia-Jawa’ ialah melakukan “cultural conditioning” terhadap bangsa-bangsa kita: membuat bangsa-bangsa kita menerima perintah dari mereka; berpikiran kecil dan dangkal; tidak tahu kedudukan kita di atas bumi ini; tidak tahu bagaimana membuat hubungan dengan Dunia Internasional; penuh ketakutan dan hilang keberanian untuk melawan dan menghukum mereka.
Pahamkan kenyataan dan kebenaran sejarah ini: “Indonesia” adalah satu merek dari bangsa-bangsa serdadu upahan Belanda, bangsa tukang pukul dan tukang bunuh sebagai sumber kehidupan atau pencaharian mereka. Bangsa-bangsa begini adalah bangsa-bangsa tidak bermoral dan tidak berakhlak. Karena ada merekalah maka penjajahan Belanda telah berhasil dilakukan atas Kepulauan Melayu ini. Kita bangsa-bangsa Sumatera yang bermoral dan berakhlak, tidak mempunyai hubungan tanah, budaya, sejarah, dan bahasa dengan mereka. Mereka malah telah mencuri bahasa kita untuk dapat menipu bangsa-bangsa lain di Kepulauan Melayu, sebab bangsa-bangsa di Kepulauan Melayu tidak ada yang mengerti bahasa Jawa atau Madura. Mereka telah merampok kekayaan kita dan menjualnya ke seluruh dunia, dengan keuntungannya diambil oleh mereka dan dibawa pulang ke pulau Jawa.
Inilah yang mereka propagandakan sebagai “PEMBANGUNAN”. Hanya bangsa-bangsa Sumatera yang sudah dihinggapi penyakit urat-saraf saja yang dapat percaya kepada pendustaan-pendustaan bandit-bandit Jawa ini.
Maka adalah satu penghinaan kepada nenek-moyang kita; kepada diri kita sendiri, malah penghinaan terhadap keturunan kita dimana mendatang, karena menamakan diri kita sebagai “bangsa indonesia”, bangsa yang sekarang sudah masyhur di seluruh dunia sebagai bangsa penjahat dan pembunuh yang kejam serta tidak bermoral.
Seorang pengarang Amerika yang mengenal Indonesia, Bill Dalton, telah menulis dalam bukunya, Indonesia Handbook (1977) bahwa “most Indonesians have split personalities” artinya: bagian yang besar sekali dari orang-orang Indonesia itu mempunyai penyakit urat-saraf, setengah gila, tidak yakin kepada diri mereka sendiri, berkepribadian yang retak, yang penuh pertentangan dalam jiwa mereka, tidak mempunyai karakter, yang dalam istilah ilmu jiwa (psychology) disebut penyakit jiwa Schizophrenia. Ini adalah kenyataan-kenyataan yang kitapun dapat melihatnya.
Mengapakah hal yang luar biasa ini telah terjadi?
Inilah akibat yang langsung dari “pendidikan” Jawa terhadap bangsa-bangsa yang mereka jajah selama hampir setengah abad ini.
Ada tiga hari yang paling menentukan dalam kehidupan anak bangsa-bangsa di bawah penjajahan bandit-bandit Jawa: selain hari lahir dan hari mati, hari yang lebih mewarnai seluruh kehidupan mereka itu ialah hari mereka dibawa masuk ke “sekolah” Indonesia-Jawa untuk menerima “pendidikan” Jawa.
Pada hari lahirnya, setiap anak bangsa-bangsa Sumatera masing-masing disambut dengan upacara budaya dan agama yang amat berkesan yang memberikan cap keaslian dan kebenaran keperibadiannya (identity-nya) sebagai manusia yang berharga dalam pengakuan ibu-bapanya dan masyarakat bangsa dan negerinya dengan tiada keraguan sedikitpun jua.
Semua kepastian ini hilang lenyap dan diganti dengan keragu-raguan dalam segala-galanya dihari pertama anak bangsa-bangsa Sumatera dihantar masuk “sekolah” Indonesia-Jawa, untuk menerima “pendidikan”. Hari masuk “sekolah Indonesia” itulah, hari yang na’as sekali bagi kanak-kanak bangsa Sumatera, dimana segala pengalaman, pelajaran dan kebudayaan yang sudah diperoleh selama masa tumbuh yang indah itu dihacur-leburkan, ditiadakan, dan dikikis habis. Apa yang sudah mereka tahu sebagai kebenaran dari ibu-bapa dan nenek mereka di rumah, mulai dikatakan oleh sang guru sebagai tidak benar lagi: mereka dikatakan bukan lagi bangsa Acheh, atau Melayu, atau Minang, Batak, Lampung, dan lain seterusnya, tetapi sudah menjadi bangsa entah-berentah: “indonesia”, yang tidak berketentuan asal-usulnya; semua nilai-nilai sosial yang sudah mereka pahami selama ini menjadi tidak berharga lagi; dari sekarang semua hal harus mendapat pengesahan dari pulau Jawa; gambar-gambar kepala bandit-bandit Jawa, Suharto, Sutrisno, Wiranto, dan lain-lain mendapat tempat yang paling terhomat sekali di dinding sekolah, suatu isyarah kepada anak-anak Sumatera bahwa bandit-bandit Jawa itulah orang-orang yang besar di dunia, yang harus menjadi teladan bagi mereka; mereka dipaksa menyanyi lagu “indonesia raya” yang setiap kata-katanya adalah mutlak pembohongan dan kedustaan. Inlay yang disebut orang “cultural conditioning” – pemakaian culture sebagai alat pengendalian tingkah laku manusia, supaya bangsa-bangsa terjajah menjadi kebiasaan untuk menerima pertuanan bangsa Jawa. Mulai hari pertama masuk sekolah Jawa, telah dikurangi penghormatan anak-anak kita kepada ibu-bapa mereka sendiri, kepada bangsa mereka sendiri, dan kepada bahasa dan culture mereka sendiri.
Penipuan besar-besaran ini, walaupun tidak dapat dibantah oleh anak-anak kita, tetapi mereka masih merasakannya dalam hati kecil mereka, dari kecintaan dan kesayangan mereka kepada ibu-bapa. Apa yang sudah mereka hisap dengan jiwa, perasaan, saraf, dan pikiran mereka selama mereka dibesarkan dan di buai, tidaklah dapat dikikis habis dengan serta-merta oleh sipenjajah Jawa dan kaki tangan mereka.
Keadaan inilah yang menimbulkan pertentangan batin, yang biasanya kekal seumur hidup, yang tanda-tandanya ialah keragu-raguan, ketidak-tentuan, ketakutan, kehilangan character, yang akhirnya menyebabkan penyakit jiwa tercencang alias ‘split personality‘ atau schizophrenia, yang meluas sekali dikalangan orang “indonesia”, yang membuat mereka menjadi sasaran yang lembut dari penjajahan bandit-bandit Jawa.
Untuk mengatasi bandit-bandit Jawa ini, kita perlu memiliki kesadaran yang membara dan keyakinan yang membaja atas kebenaran kita, atas hak kita, akan harga diri dan kemuliaan bangsa-bangsa kita. Dan kesetiaan kepada satu sama lain se Sumatera dalam menghadapi musuh kita bersama: bangsa penjajah Jawa. “Indonesia” hanyalah topeng mereka. “Kuda Trojan” yang mereka tunggang sebagai penipuan untuk dapat masuk ke tanah dan rumah kita.
Waktu untuk bertindak mengusir bandit-bandit Jawa dari Tanah dan Rumah kita ialah sekarang. Menundanya ke hari esok bermakna mengelak membuat Sejarah dan membebankan tanggung-jawab kita kepada anak keturunan yang masih lemah.
HIDUP ACHEH-SUMATERA MERDEKA
23 April, 1994.
Tengku Hasan M. di Tiro
Wali Negara Acheh-Sumatera Merdeka
Ketua Badan Persiapan Konfederasi Sumatera Merdeka
BISMILLAHI ARRAHMAN ARRAHIM.
ASSALAMU’ALAIKUM W.W.
Ucapan ini saya tujukan kepada Saudara-saudara saya bangsa Sumatera, dari Acheh sampai ke Lampung, dari Sabang sampai ke Bangka dan Belitung. Perjumpaan kita hari ini bermakna: Saya sudah datang untuk mengunjungi Saudara-saudara sekalian, dan masing-masing, dimana saja Saudara-saudara berada: di rumah, di kantor, di pasar, atas Tanah ibu Sumatera, atau di perantauan. Mengapa saya lakukan ini? Sebab saya menghargai dan memuliakan Saudara-saudara saya se-Sumatera: setiap anak Sumatera mempunyai berat yang menentukan dalam neraca saya.
INILAH INDONESIA-JAWA
Apa yang kita persaksikan sekarang ini di Tanah Pusaka, kampung halaman kita, bukanlah satu kejadian yang sementara, tetapi satu keadaan yang tetap dan mungkin kekal. Satu perobahanpun tidak akan terjadi dengan sendirnyja, dimasa yang akan datang. Dua-puluh tahun adalah satu masa yang sangat lama, sama dengan masa berlalu nya satu keturunan manusia. Dalam masa dua-puluh tahun ini beberapa kerajaan sudah dibagi-bagi dan dibubarkan, lebih 60 buah negara-negara baru sudah dibangunkan, hampir seluruh bangsa yang dahulunya terjajah sudah memperoleh kembali kemerdekaan mereka, seluruh ekonomi dan industri benua Eropa dan Djepang sudah selesai dibangunkan kembali dari runtuhan puing Perang Dunia Ke-II. Apa yang sudah dan sedang terjadi di Tanah Pusaka kita dalam masa yang selama itu adalah terlalu menyedihkan untuk diperbincangkan disini.
PERINGATAN TSUNAMI ACHEH KE-16 (26 DISEMBER 2004-26 DISEMBER 2021)
Bismillahirrahmannirrrahhim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji-pujian dari kita semua kepada Allah Subhanahuwata’ala yang telah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, Dia yang Maha berkuasa atas segala sesuatu, yang Maha menghidupkan dan mematikan, yang Maha menentukan dan mengatur segala sesuatu. Selawat serta Salam tidak henti-hentinya siang dan malam buat Junjungan besar Penghulu alam Nabi Muhammad Ibni Abdullah, Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam pembawa rahmat bagi sekalian alam beserta ahli keluarga baginda, sahabat-sahabat baginda yang selalu tulus dan setia dalam keimanan dan ketaqwaan, seterusnya kepada Tabi’i Tabi’in, para ulama-ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin yang tidak pernah lelah menghidupkan syi’ar agama Islam ke seluruh penjuru alam ini.
Gegaran gempa bumi dangkal ke-5 terbesar yang pernah ada dalam sejarah manusia berskala 9.3 SR diikuti pula dengan tragedi tsunami di Acheh pada hari Minggu 26 Disember 2004 jam 7.59 pagi boleh kita lihat dari segala macam perspektif dan dari pandangan kaca mata siapapun dengan interpretasi dan kesimpulan yang beragam. Tragedi menyedihkan dan memilukan hati ini menelan korban jiwa lebih dari 200,000 orang dalam sekelip mata. Kita sama-sama mengirimkan Al-Fatihah keupada semua korban dan semoga mereka termasuk kedalam para syuhada.
Pada waktu yang bersamaan juga, Acheh waktu itu sedang dalam konflik politik perjuangan bangsa Acheh yang sudah berjalan selama 28 tahun waktu itu yang dipimpin oleh Tengku Tjhik di Tiro Hasan Muhammad melawan pemerintahan kolonialis “indonesia-jawa”. Dan di waktu yang bersamaan juga pihak “indonesia-jawa” telah mengambil langkah-langkah brutal dan barbar untuk menghapuskan barisan perjuangan kemerdekaan Bangsa Acheh dengan mengeluarkan beberapa perintah operasi militer dan darurat termasuklah Operasi Terpadu dengan menerapkan Darurat militer pada tahun 2003 sehinggalah ditukar kepada Darurat Sipil pada tahun 2004.
Selama setahun lebih operasi militer dan status darurat berlaku di Acheh, telah terjadi pelanggaran dan pemerkosaan hak asasi manusia secara massal terhadap warga sipil di seluruh Acheh oleh pihak anggota aparat, anggota penegakan hukum serta oleh kelompok-kelompok milisi non-Acheh khususnya di bahagian tengah dan di Barat Selatan. Setiap hari tanpa ada hentinya terjadi penangkapan, penembakan, pembantaian, pemerkosaan, pengurungan, penghilangan, penyiksaan dan yang lain-lain semacam dengannya. Ada sejumlah besar juga jasad para korban tidak ditemukan dan tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia sampai ke hari ini. Di sisi Undang-Undang Internasional dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Internasional, kejahatan peperangan ini sangat jelas bertentangan dengan kesepakatan dalam Covention Geneva Ke-4.
Malah dari sisi hukum dan aturan perang juga, perlakuan brutal dan di luar batas peri kemanusiaan oleh aparat keamanan serta aparat penegakan hukum ke atas kelompok masyarakat bersenjata yang menggunakan hak mereka sesuai ketentuan Hak Menentukan Nasib Diri Sendiri juga adalah sangat bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Internasional sepertimana yang tertuang dalam Convention Geneva Ke-4.
Sejarah tidak dapat kita hapuskan yang kenyataannya begitu setelah terjadinya Tsunami di Acheh, pihak penjajah “indonesia-jawa” tidak membantu sama sekali. Aparat militer penjajah yang begitu banyak di Acheh pada masa itu menghalang pihak keluarga untuk mencari jenazah-jenazah mereka yang terkorban. Malah bantuan dari luarpun mereka hambat dengan alasan keamanan. Ini adalah alasan yang mereka buat-buat untuk menutupi kekejaman mereka terhadap Bangsa Acheh yang telah mereka lakukan selama beberapa kurun waktu kebelakangan. Jika orang luar masuk ke Acheh dengan segera, maka tembelang mereka akan terkeluar dengan jelas. Inilah suatu penipuan yang disengaja dan ditutup-tutupi dengan topeng alasan “keamanan”.
Selama 3 hari berturut-turut mereka menutup Acheh dari pihak internasional setelah terjadinya Tsunami. Sangat kita sesali pada waktu itu beribu-ribu orang yang cedera parah tidak mendapat bantuan dan lebih dari setengah yang cedera parah itu meninggal karena tiada bantuan. Barulah setelah ada tekanan dari Internasional baru mereka membuka keran untuk membantu para korban. Itupun wajib melalui Jakarta dan sudah pasti mereka akan memotong bantuan tersebut –memang sifat pencuri tidak bisa lari dari perbuatannya- untuk mereka sendiri lalu selebihnya baru sampai ke Acheh. Bagaimana surat-surat kabar di dunia luar pada waktu itu memuat pada muka depan surat kabar mereka tentang bantuan dunia internasional tidak sampai ke tujuan di Acheh. Penjajah ‘jawa’ tidak malu malah bangga dengan cara mereka. Budak sahaya yang tidak beradab.
Tragedi gempa bumi dan gelombang tsunami yang sudah terjadi dapat menjadi renungan dan introspeksi untuk kita semua .
Akhirul kalam, mari sama-sama kita hadiahkan Al-Fatihah kepada semua korban Tsunami dan juga pejuang2 GAM yang gugur. Semoga mereka di terima segala amalannya dan diampunkan segala dosa oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Jubir GAM
Bakhtiar Abdullah
Stockholm, Swedia
Nasionalisme Indonesia Peuë makna nasionalisme “indonesia” njan keu geutanjoë?
Persoalan atau masaalah “nasionalisme indonesia” tidak dapat dipahami dengan tidak lebih dahulu memahami letak, kedudukan, dan lingkungan ilmu-buminya (geography) yang menentukan hampir segala-galanya. Kerajaan penjajahan Hindia Belanda yang amat luas wilayahnya itu, yang “kesatuan” haram wilayah penjajahannya masih juga tetap dipelihara sampai hari ini, yakni dengan tidak dibebaskan dan tidak dimerdekakan. Kerajaan penjajahan ini telah dapat dipelihara, disambung, dan diteruskan dengan hanya menukar namanya saja, dari Hindia Belanda menjadi “indonesia”.
SURAT PEUNJATA ATJÈH MEURDÉHKA
Keu Bansa-Bansa Dônja:
Kamoë, Bansa Atjèh, Sumatra, ateuëh neuduëk Hak bak peuteuntèë nasib droë lagèë bansa- bansa laén, dan ateuëh neuduëk Hak kamoë bak peulindông tanoh pusaka éndatu, deungon njoë kamoë peunjata droë kamoë meurdéhka dan lheuëh nibak bandum ikatan keukusaan politék nibak peumeurintah aséng di Djakarta, Djawa.