Home Seujarah Negara Sambungan (A Successor State)

Negara Sambungan (A Successor State)

by admin

Perlulah dipahami seterang-terangnya tentang status legal dan status politik serta status sejarah dari Negara Acheh Merdeka dalam Hukum Internasional dan Politik Internasional sebagai satu SUCCESSOR STATE (Negara Sambungan) dari Kerajaan Acheh yang silam dalam sejarah yang tidak bisa dipertengkarkan itu – Undisputed History!

Sesuatu Successor State atau Negara Sambungan mempunyai Hak Legal (Hak Hukum) yang retroactive(kembali kemasa yang silam) yang bersambung dengan masa sekarang dan masa-masa yang akan datang. Semua perjanjian dan hubungan luar negeri dari Kerajaan Acheh yang masa lalu masih tetap berharga dan masih menjadi pegangan dalam hubungan antara negara sampai Hari Kiamat – asal pemerintah Negara Acheh yang sekarang dan yang akan datang tahu mempergunakannya.

Pada tahun 1945, mereka yang memegang pimpinan di Acheh terdiri dari orang-orang yang sama sekali tidak tahu sejarah Acheh dan tidak tahu kedudukan yang dimiliki  Acheh dalam hukum Internasional. Bahaya yang paling besar, dari tahun 1945 dan sampai sekarang, tahun 1996, ialah kebodohan bangsa Acheh sendiri yang telah dapat ditipu oleh bandit-bandit Jawa dan kaki tangan mereka. Sekarang sudah setengah abad lamanya!

Sebagaimana sudah saya tegaskan mulai dalam Surat Pernyataan Acheh/Sumatra, pada 4 Desember, !976, perjuangan kita sekarang adalah sambungan mutlak dan sambungan langsung dari Perjuangan Kerajaan Asia yang pertama-tama dapat mengalahkan tentera Eropa dalam medan perang, yaitu Perang Banda Acheh pada 27 April, 1873, sebagaimana sudah dinaik-saksikan oleh surat-surat kabar terbesar di dunia, seperti The London Times dan The New York Times.

Oleh karena Negara Acheh Merdeka yang telah kita nyatakan pada 4 Desember, 1976, itu telah diterima oleh masyarakat politik dunia Internasional sebahai satu Successor State dari Kerajaan Acheh yang silam, yang merdeka dan berdaulat, dengan alasan-alasan yang cukup kuat yang sudah kita berikan dalam berbagai buku yang bersifat ilmiah, diantaranya:

  1. Status Acheh Dalam Hukum Internasional (The Status of Acheh in International Law);
  2. Jum Meudéhka (The Price of Freedom);
  3. Lahirnya Kemerdekaan Baru di Acheh (Acheh: The New Birth of Freedom); diterbitkanoleh House of Lords, London)
  4. Perkara dan Alasan (The Case and The Cause);
  5. Drama Sejarah Acheh: 1873-1978 (The Drama of Achehnese History: 1873-1978);
  6. Dan artikel-artikel yang sudah diterbitkan oleh surat-surat kabar besar Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia.

Kalau bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah melemahkan sendiri kedudukan legal dan kedudukan politik kita di dunia.

Kalau bukan Negara Sambungan (Successor State) yang kita dirikan maka berarti kita sudah mengkhianati Sejarah dan Perjuangan nenek-moyang dan mayat mereka yang bergelimpangan di atas setiap pelosok Tanah Acheh.

Kalau bukan Negara Sambungan yang kita dirikan maka kita sudah mengkhianati Hak Pusaka yang nenek-moyang telah membayar dengan darah dan air mata mereka dan seluruh dunia tunduk kepala menghormatinya.

Kalau bukan Negara Sambungan yang kita dirikan kita sudah mengkhianati Sejarah yang tidak bisa dipertengkarkan (The Undispute History).

Kalau bukan Negara Sambungan yang kita dirikan kita sudah memutuskan hubungan dengan Sejarah kita yang gilang-gemilang, dan kita sudah memberikan kesempatan kepada sipenjajah indonesia-jawa dan kaki-tangannya pengkhianat-pengkhianat Acheh sendiri mempertengkarkan sejarah kita yang tidak bisa dipertengkarkan itu untuk membenarkan penjajahan bandit-bandit Jawa atas kita.

Kalau bukan Negara Sambungan yang kita dirikan maka tempat berpijak kita telah menjadi lemah sebab tidak dapat lagi mempergunakan Sejarah dan segala kekuatan retroactive yang ada padanya.

Kalu bukan Negara Sambungan yang kita dirikan maka negara-negara dunia akan membuat syarat bahwa Wali Negara kita wajib dipilih lebih dahulu dalam pemilihan umum sebelum diakui dan baru diterima buat berbicara dengan dunia. Bagaimanakah bangsa Acheh yang negeri mereka dalam pendudukan indonesia-jawa bisa melakukan pemilihan umum sekarang? Mustahil. Ini harus dijawab oleh mereka yang mau memperebutkan keududukan Wali Negara Acheh Merdeka sekarang diluar Undang Undang Dasar Kerajaan Acheh yang masih tetap berlaku. Hal ini wajib dipikirkan akibatnya oleh semua Bangsa Acheh Merdeka kalau mereka mau benar-benar merdeka dan perjuangan kemerdekaan yang sudah kita tegakkan dengan susah payah ini tidak menjadi korban orang-orang yang gila pangkat dan rupanya tidak dapat menunggu saya dipanggil oleh Allah menghadap-Nya. Tegasnya orang-orang gila pangkat ini berpikir sebagai Suharto juga yang ingin supaya saya lekas mati.

Semua kemenangan politik yang sudah kita capai di dalam dan luar negeri selama 20 tahun ini adalah karena dunia mengakui kita sebagai satu Successor State dari Kerajaan Acheh dalam sejarah, yang bukan hanya dongeng itu. Dan sebagai satu Successor State maka kepala negara kita tetap ditentukan menurut UUD kerajaan Acheh Merdeka yang sudah berlaku sejak ribuan tahun itu – sebagaimana UUD Kerajaan-kerajaan lain di dunia – yaitu dipilih dari keluarga-keluarga besar kerajaan yang berhak, yang disini tidak dipandang lagi sebagai family tetapi sebagai Badan Negara (Instution) atau Lembaga Negara untuk memerintah. Hikmat semua ini adalah untuk meniadakan persengketaan yang bukan-bukan dalam sesuatu negara yang ditimbulkan hanya karena perebutan kedudukan saja yang tidak memungkinkan Negara menjalankan tujuannya yaitu mendirikan ke’adilan untuk semua.

Dalam sejarahnya yang sudah ribuan tahun itu, Acheh telah mempunyai beberapa family-family besar yang telah menjadi Lembaga Negara itu berhasil mengisi jabatan Kepala Negara  waktu sudah ada terjadi kekosongan. Singkatnya, mulai tahun 1840 maka family Tengku di Tiro-lah yang menjadi Wali Negara Acheh sampai sekarang. Hal itu sudah saya jelaskan dalam buku Drama Sejarah Acheh 1873-1978. Itulah satu taqdir dari Allah SWT kata orang Islam. Satu fait accompli, kata orang Barat. Saya tidak “merebutkan” tanggung-jawab itu dari siapapun juga. Mengapa tidak ada orang lain yang mendirikan kembali Negara Acheh Merdeka sebelum saya kembali dari Amerika?

Oleh karena diterima dunia sebagai Wali Negara Acheh yang berhak berbicara atas nama bangsa Acheh maka saya telah dapat memperlindungi refugee Acheh yang terpaksa pindah ke luar negeri karena diusir oleh sipenjajah Indonesia-jawa.

Kalau bukan Negara Sambungan yang kita dirikan sekarang maka dunia akan menuntut siapa yang menjadi Wali Negara Acheh harus dipilih dengan pemilihan umum lebih dahulu. Ini adalah hal-hal yang mustahil dapat kita lakukan sekarang sebab negeri kita dalam tangan musuh. Kesulitan ini telah dapat kita elakkan dengan mendirikan Successor State dengan UUD-nya yang melegalkan keturunan Tengku Tjhik di Tiro sebagai Wali Negara.

Saya telah menanda-tangani Surat Pernyataan Acheh/Sumatra Merdeka sebagai Negara Sambungan atas kelegalan Hak satu Successor State sebab pada waktu ini sayalah yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tengku Tjhik di Tiro menggantikan Yang Mulia Nenekanda Tengku Tjhik di Tiro Mahyeddin dan Pamanda Tengku Tjhik di Tiro Ma’at, yang gugur pada 3 Desember, 1911, dalam perang dengan Belanda.

Hari 3 Desember, 1911, diakui oleh Belanda sebagai hari berakhirnya Perang antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Acheh yang dimulai pada 26 Mart, 1873. Demikianlah ditulis oleh Komandan Belanda H. J. Schmidt, dalam bukunya Marechaussee in Atjèh. Demikian juga oleh Gubernur Belanda yang terakhir di Acheh, J. Jongejans, telah menulis dalam bukunya Lan en Volk van Atjèh (1932), “bahwa Belanda menganggap berakhir Perang Acheh dengan dapat dibunuhnya Tengku Tjhik di Tiro yang terakhir.” (“With the death of the last Tengku di Tiro, Acheh War can be considered as ended.”). Page 346.

Karena itulah mengapa Hari Proklamasi Kemerdekaan Acheh saya pilih pada 4 Desember untuk menjadi satu symbol bahwa Acheh Merdeka adalah sebagai Negara Sambungan dari Kerajaan Acheh uang sudah-sudah dalam sejarah kita. Pada hakikatnya Belanda tidak pernah dapat mengalahkan Acheh terbukti dengan larinya dari Acheh pada bulat Mart, 1942! Ini satu bukti lagi – kalau lebih banyak bukti masih diperlukan – tentang berhaknya bangsa Acheh untuk mendirikan satu Negara Sambungan!

Siapapun tidak pernah bertanya kepada saya di luar negeri apakah saya sudah dipilih? Sebab dunia sudah tahu saya sudah lebih dahulu dipilih menurut sistem UUD Kerajaan Acheh yang dalam garis besarnya sama juga dengan sistem UUD Kerajaan Inggris, Belanda, dan semua kerajaan-kerajaan lain di dunia demokrasi.

Satu factor penting yang sangat menentukan yang sudah dirakam oleh semua surat-surat kabar dunia di Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia tentang AM ialah bahwa pemimpin Acheh Merdeka itu adalah seorang berketurunan yang telah melegalkan  tanggung-jawab dan jabatannya menurut Hukum Internasional dan Adat bangsa-bangsa dunia (Convention) dengan tidak memerlukan pemilihan lagi. Ini perlu disadari oleh bangsa Acheh Merdeka. Mereka pun harus tahu dimana terletak nasib mereka itu jangan mereka buang-buang begitu saja.

Surat kabar The Nation, Bangkok, Thailand, menulis:

“Pada 4 Desember, 1976, Tengku Hasan di Tiro, cucu dari Tengku Tjhik di Tiro, pahlawan Acheh, telah menyatakan kemerdekaan. Dengan demikian Gerakan Acheh Merdeka sudah lahir kedunia.” (22 Agustus, 1991). (“On 4 December, 1976, Tengku Hasan di Tiro, the grandson of the Achehnese warrior, Tengku Chik di Tiro declared independent and the Acheh Merdeka movement was born.” The Nation, August 22, 1991)

Surat kabar Inggeris, The Guardian, London, menulis:

“Tengku Hasan di Tiro, pemimpin Acheh Merdeka, yang sudah menjadi orang terpenting dalam 3 pemberontakan melawan Jakarta di Acheh walaupun beliau sudah berada di luar negeri sejak tahun 1950 dan sekarang berdiam di Sweden. Cucu dari Tengku Tjhik di Tiro, pahlawan besar Acheh dalam Perang Belanda. Tengku Hasan di Tiro menginginkan Acheh kembali sebagai satu Negara Islam yang masyhur dengan perniagaan dan kekuatan armadanya.” (The Guardian, 26 Juni, 1991).

(Hasan di Tiro, leader of Free Acheh, has been a key figure in three uprisings against the central government, although he left the province in the 1950s and is based in Sweden. Grandson of Tengku Tjhik di Tiro, a hero in Acheh’s 30 years war against Dutch colonisers, Mr. Hasan recalls the time when Acheh was an Islamic state known for trading and military prowess.”

Majalah Far Eastern Economic Review, Hong Kong, menerbitkan sebuah atrikel (17 July, 1981), yang berkepala:

PEMBERONTAK YANG BERSALSILAH KETURUNANAcheh adalah sebuah negara yang sangat gigih menjaga kemerdekaannya yang sudah lebih 500 tahun. Belanda hanya dapat menguasai beberapa daerah pesisirnya saja sesudah berperang hampir satu abad lamanya…Gerakan kemerdekaan muncul kembali pada tahun 1976 ketika Tengku Hasan di Tiro kembali dari Amerika untuk mendirikan Acheh Merdeka”.

(REBEL WITH PEDEGREE. Acheh a fiercily independent state for over 500 years. The Dutch only imposed a modicum of control over the area after fighting a long and costly war…Irredentism surfaced again in the mid 1970s when the Tengku (Prince) Hasan di Tiro returned to launch the Acheh Merdeka or Free Acheh Movement.”)

Majalah Pacific Islands Monthly,  (Juni, 1988), menulis:

“Tengku Muhammad Hasan di Tiro, seorang Tengku dari Sumatera adalah pemimpin Islam yang keras dan lawan Indonesia yang paling pahit; beliau adalah ketua Komite Politik dari Mathaba, Tripoli.

Seorang pejuang kemerdekaan, pewaris dari keturunan raja-raja, seorang diplomat yang sangat ulung, yang selalu berkata bahwa beliau lebih suka berada ‘dalam medan perang dimana nenek-moyang saya telah tewas’. Tengku Hasan di Tiro merupakan simbol yang paling berjaya dari politik Libya mengapa negara itu tidak ragu-ragu untuk membantu gerakan kemerdekaan.”

(Tengku Muhammad Hasa di Tiro, a Sumatran prince, fervent Muslim dan bitter opponent of Indonesia is the chaiman of Mathaba’s Political Committee…An independent fighter, heir to a line fo rulers, a polished diplomat who yet insists the should be on the battlefeild where my ancestors died’, Hasan di Tiro neatly incarnates Libya’s determined support for liberation front…”.(Pacific Islands Monthly, June 1988).

Surat kabar Sweden, Albertaren, Stockholm (9 April, 1992), menulis: “Famili di Tiro, adalah Raja-raja Acheh selama 8 keturunan. Pemimpin Acheh Merdeka yang kini tinggal di Sweden, boleh menamakan diri sebagai Raja Acheh.” (Familjen di Tiro var under atta generationer kungat över Acheh. Befrielserorelsens ledare, Hasan di Tiro, nu bosatt in Sverige, kan kallasigkungen av Acheh.” Albetareb, (April 9, 1992).

Surat kabar Sweden, Svenska Dagbladet, Stockholm, (10 Oktober, 1994), menulis: “Walaupun Tengku Hasan di Tiro telah menjadi warga Sweden tetapi beliau masih mempunyai hak untuk memakai titel Sultan.

Sebenarnya beliau tidak pernah memakai titelnya. Beliau memperkenalkan diri hanya sebagai Tengku Hasan saja sebagai beliau dipanggil oleh orang-orang yang memanggil beliau Sultan.

Ketika saya berbicara dengan telefoon ke Jakarta dengan orang-orang yang bekerja pada organisasi Hak Asasi Manusia dan saya katakan bahwa saya akan menginterview beliau, maka mereka meminta supaya saya sampaikan Salam mereka kepada Sultan. “Baginda mempunyai hak memakai titel itu” – kata ahli hukum kontak saya di Jakarta.

“Tidak lama lagi saya akan pulang ke Acheh” kata Tengku Hasan di Tiro. Baginda adalah seorang pewaris dari satu dinasti di Sumatera Utara dan mempunyai satu riwayat hidup yang luar biasa sekali untuk didengar.” Pagina istimewa, 10 Oktober, 1994.

(Ända är han svensk medborgare – och säkert den ende som har rätt att kalla sig sultan.

Fast den titéln använder han sig inte av. Han presenterar sig som prins eller Tengku, som den hetter pa hans eget sprak, Acehnesiska. Men det finns den som kallar honom för sultan. När jag ringer upp en människorättsaktivist i Jakarta blir jag ombedd att hälsa till sultanen. “Han har rätt att kalla sig sa”, tilläger min kontaktperson i Jakarta.

Men, nej, kunga – eller sultantiteln är inte aktuell för den man jag träffar en första gang pa en bättre Stockholmsrestaurang. – Inte sa länge jag lever i exil, säger Hasan di Tiro. Ham är arvtagare till en dynasti pa norra Sumatra och han har en märklig lebnadshitoria att berätta”).

Amnesty International, London, (28 Juli, 1993) menulis:

“Acheh Merdeka dipimpin oleh Dr. Tengku Hasan di Tiro yang nenek-moyang beliau memegang peranan yang terpenting dalam perang mempertahankan kemerdekaan Acheh dari serangan Belanda dalam abad ke-19 dan ke-20. Acheh Merdeka mendapat sokongan umum dari bangsa Acheh”.

(“Acheh Merdeka was led by Dr. Tengku Hasan di Tiro, whose ancestors had played a leading role in resisting the Dutch in the late 19th and early 20th centuries. Acheh Merdeka gained a measure of popular support…” (July 28, 1993)

Surat kabar Belanda Handelsblad, (13 April, 1991) menulis:

“Menurut propaganda Indonesia jumlah pemberontak 50 orang saja, Hasan Tiro sudah membuktikan mempunyai ribuan pengikut yang bersenjata lengkap dan bangsa Acheh berdiri di belakangnya. Bagaimanapun juga orang menafsirkan pernyataan-pernyataan ini, satu perkara sudah terang: Indonesia belum selesai dengan Tengku-Tengku di Tiro!”.

(“Volgen de Indonesische regering gaat het om enkele benden van in totaal hooguit viftig man. Hasan di Tiro echter beweert dat hij duizenden gewapende aanhangers heeft, en dat het Atjèhse volk achter hem staat. Hoe man ook over die aanspraak moge denken, één ding is zeker: Indonesië is met de Tiro-tengkoes nog niet klaar”.

Tegasnya simbolisme dari nama dan perjuangan famili Tengku-Tengku di Tiro-lah yang dibuktikan dalam Sejarah Acheh yang gilang gemilang yang telah ditulis oleh famili-famili itu bersama bangsa Acheh yang setia dengan darah mereka yang bercucuran selama 6 keturunan sambung menyambung, yang dikagumi oleh dunia, dan yang akhirnya telah melahirkan Acheh Merdeka. Namun demikian oleh musuh-musuh kita yang terang-terangan dan ada yang masih dalam selimut, saya dituduh bekerja untuk kepentingan famili dan bukan untuk kepentingan nasional Bangsa Acheh. Ini adalah perbuatan musuh yang ingin menghitamkan halaman-halaman yang paling putih dan paling suci dari Kitab Sejarah Kita! JANGAN BIARKAN ITU!

Saya sudah menerangkan dalam pidato saya pada Hari Ulang Tahun ke-19 dari Angkatan Acheh Merdeka pada 4 Desember, 1995, bahwa kepentingan nasional Acheh menghendaki supaya sistem Negara Sambungan (Successor State) itu kita pertahankan sekurang-kurangnya sampai kita menang artinya sesudah memperoleh kembali pengakuan dunia internasional untuk Negara Acheh Merdeka. Sebab baru sesudah menang itu kita dapat melakukan pemilihan umum untuk mengubah Undang Undang Dasar Kerajaan Acheh (dengan Amendement yang diperlukan) dan untuk dapat melakukan pemilihan Wali Negara baru menurut Amendement tersebut.

Bangsa Acheh lebih-lebih anggota Acheh Merdeka wajib bertanya kepada orang-orang Acheh yang mau mencalonkan diri sebagai Wali Negara itu di luar hukum UUD Acheh Merdeka yang berlaku sekarang, bagaimana rencana mereka untuk mencapainya? Bagaimana pemilihan umum untuk memilih mereka dapat dilakukan sekarang tanpa Amandement atas UUD dan pemilihan umum yang lebih dahulu untuk itu? Sudah terang segala rupa pemilihan umum itu mustahil dapat dilakukan sekarang karena negeri kita masih diduduki sipenjajah Jawa. Yang perlu dan praktis sekarang ialah masalah mengusir penjajah Jawa dan bukan perebutan kursi Wali Negara. Apakah mereka yang mau menjadi Wali Negara itu mempunyai rencana alternatif yang lebih baik untuk lebih lekas mengusir Jawa? Kalau ada kita ingin lebih tahu bagaimana rencana mereka. Bagaimana pun juga setiap kandidat wajib mengemukakan plannya dan kita ingin mempelajarinya. Bagaimana pun juga penggantian Wali Negara adalah hal yang mustahak tetapi wajiblah dilakukan menurut hukum UUD Acheh yang berlaku. UUD itu pun dapat diubah, tetapi wajiblah menurut Hukum pula.

Haruslah kita ingat sipenjajah Jawa yang memakai Bahasa Melayu sebagai alat propaganda  dan indoktrinasi mereka juga gemar berbicara tentang “hukum” pula padahal kekuasaan mereka adalah di luar Hukum dan satu perampokan danperampasan belaka.

Kita sudah 20 tahun mendirikan kembali satu Negara Sambungan, satu Successor State dari Kerajaan Acheh Merdeka dan kita sudah berhasil berdiri dalam masyarakat dunia internasional. Segala perobahan mengenai sistem UUD negara kita wajiblah dilakukan menurut ketentuan-ketentuan Hukum yang sebenar-benarnya, sebagaimana diperbuat oleh semua anggota masyarakat dunia. Seluruh dunia mengamat-amati apa yang kita perbuat. Atas dasar itu mereka akan memberi atau menolak pengakuan untuk kita.

Kalau bukan atas nama Negara  Sambungan kita tidak dapat memakai Hak sejarah yang begitu penting, begitu mahal, dan begitu menentukan; kalau bukan atas nama Negara Sambungan kita tidak berhak memakai Pernyataan Perang oleh Belanda atas Kerajaan Acheh pada 26 Mart, 1873, sebagai bukti adanya Kerajaan Acheh sebagai satu Negara Merdeka dan Berdaulat (Belanda tidak pernah menyatakan perang dengan resmi kepada Jawa atau bangsa manapun di Dunia Melayu); kalau bukan Negara Sambungan kita sudah hilang hak untuk menuntut bayaran kerugian perang dari Belanda atas kejahatan yang telah dilakukannya di negeri Acheh dan ini bukan sedikit.

Atas nama Sejarah dan Negara Sambunganlah saya sudah meneken Surat Pernyataan Kemerdekaan Acheh/Sumatera pada 4 Desember, 1976, yang telah memberi hak kepada saya untuk berbuat demikian sebagai Pewaris yang legal dari Kerajaan Acheh Merdeka yang berdaulat dengan tidak perlu pemilihan umum yang mustahil dilakukan itu. Dalam istilah Ilmu Hukum Internasional ini tidak berarti dengan tidak ada pemilihan lebih awal yang sudah disahkan seribu tahun yang lalu dalam sejarah menurut UUD Kerajaan Acheh yang lebih kurang sama dengan UUD kerajaan-kerajaan lain di dunia.

Dengan tidak ada sistem itu maka kita tidak mempunyai pegangan yang begitu kuat dan sempurna untuk mendirikan Acheh Merdeka dan saya tidak mempunyai alasan legal dan bersejarah untuk menjadi Wali Negara Acheh Merdeka. Apa yang sudah kita lakukan itu adalah cocok dan sepadan dengan Hukum Internasional dan dimengerti penuh oleh bangsa-bangsa dunia. Karena itulah kita mendapat simpati dunia yang besar.

Menjadi orang Acheh Merdeka berarti menjadi seorang warganegara Acheh Merdeka yang selalu wajib berpikir sendiri dan wajib ta’at dan setia kepada Pemimpinnya: Wali Negara Acheh Merdeka!

Tengku Hasan di Tiro

Wali Negara Acheh Merdeka

26 Mart, 1996

Bertepatan dengan 100 tahun Medan Perang Kuta Aneuk Galông, dimana Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Amin tewas bersama 400 kawan seperjuangannya mempertahankan kemerdekaan Acheh. Mayat Beliau dikebumikan di Mureuë, di samping Ayahandanya Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Ketika saya pulang ke Acheh dari Amerika ditahun 1976 untuk mendirikan Acheh Merdeka kembali, saya menziarahi kuburan-kuburan mulia itu dan waktu itu saya tidak dapat berbuat lain selain meniarap atas Makam Pahlawan itu sambil air mata saya yang tidak dapat tertahan itu membasahi bumi pusara mulia itu.

You may also like

Leave a Comment