Alat pertahanan sesuatu negara yang merdeka sejatinya untuk mempertahankan dirinya dari serangan luar negeri. Kekuatan tentara tergantung kepada kedudukan dan geo-politik negara tersebut dengan tetangga sekitarnya. Jika negara aman damai dalam negeri dan bersahabat baik dengan negara sekitarnya maka kekuatan pertahanan bersenjata kecil belaka. Kita lihat dari negara yang paling aman di dunia dan tidak berkehendak menyerang keluar adalah Switzerland. Negara Switzerland tidak ada Panglima Tertinggi sama sekali, karena negara dalam keadaan aman tidak memerlukan Panglima Tertinggi. Juga tidak ada angkatan laut sebab tidak ada perbatasan dengan laut sama sekali, maka Angkatan Laut tidak diperlukan sama sekali, yang ada hanya Angkatan Udara dan Angkatan Darat. Tentara aktif juga tidak begitu banyak menonjol sama sekali.
Dalam penempatan barak-barak tentara negara merdeka, beradab dan menjaga rakyatnya sangat jauh dan tidak kelihatan dari pandangan masyarakat awam. Sengaja dipelosokkan dari kejauhan masyarakat untuk menjaga kenyamanan kehidupan masyarakat biasa. Sehingga masyarakat tidak merasa ketakutan dan tertekan dengan nampaknya senjata-senjata dari militer. Jika ada masyarakat tersesat atau tersalah jalan sehingga mengarahkan kedalam barak militer, tidak juga akan ada intimidasi yang berlebihan. Pengalam saya sendiri pernah hampir masuk kedalam kawasan militer, di depan pintu masuk ke camp tersebut saya ditanyai tujuan masuk kedalam (tujuan masuk bukan tujuan kesana) dengan sopan. Saya menjelaskan tersalah jalan dan mereka mengarahkan saya untuk putar balik dan ditunjukkan jalan putar balik dengan sopan.
Kedudukan strategi barak tentera bukan hanya didirikan begitu saja, ada strategi yang jelas dan tujuan yang tertentu. Jika barak tentera didirikan dekat dengan jalan besar atau jalan umum yang sangat leluasa digunakan masyarakat awam, tujuannya pertahanan negara tersebut semata-mata untuk melawan rakyat sendiri. Apalagi dengan adanya barak tentara bisa menghambat perjalanan masyarakat awam. Ini sama sekali akan dielakkan di negara yang merdeka.
Berlainan sekali dengan penempatan serdadu di negara penjajah “indonesia”. Kebanyakan barak serdadu di negara penjajahan ini sangat berdekatan dengan jalan besar yang sangat sibuk dengan penggunaan masyarakat awam. Sehingga serdadu ini sering membuat kegiatan-kegiatan militer di tempat umum dan mengganggu kegiatan masyarakat umum yang menyebabkan terhambatnya kegiatan ekonomi masyarakat. Sangat sering kita lihat jika ada kenderaan yang melintas barak serdadu ini harus berjalan pelan-pelan sebab kawasan militer. Hampir semua jalan raya dekat dengan barak serdadu menghalang perjalanan dengan meletakkan drum minyak dengan zig-zag sehingga pengguna jalan dengan terpaksa memperlahankan kenderaannya. Apa kekuasaan militer juga mencakupi jalan umum? Jika ia, maka ini penjajahan namanya. Banyak kasus sewenang-wenangnya militer jika melintasi jalan umum dekat dengan barak serdadu dengan mengutip biaya dari supir-supir truck. Jika tidak diberikan akan ada hukuman yang sangat bermacam-macam seperti menghitung jumlah tiang pagar depan barak serdadu. Jika hal ini diketahui oleh masyarakat umum akan keluarlah pernyataan yang membela serdadu tersebut dengan dalih macam-macam.
Sebenarnya kekuasaan militer hanya didalam barak serdadu saja. Juga kekuatan PM (Polisi Militer) hanya dalam barak serdadu juga. PM hanya berkuasa terhadap serdadu yang melakukan pelanggaran dalam barak. Jika serdadu keluar dari barak dan berbuat pelanggaran ditempat umum, kekuatan PM tidak berlaku. Disinilah kekuatan Polisi yang berlaku dan ditetapkan dengan pelanggaran sipil. Pihak militer bisa menambahkan hukuman kepada serdadu dengan hukum militer, terserah pihak militer dalam menerapkan hukum ini.
Sering sekali kita mendengar “negara ini adalah negara hukum”. Kalimat ini sangat cocok jika kita katakan “negara ini kamilah sebagai serdadu yang memegang hukum”. Ini kenyataannya begitu. Tidak ada keadilan hukum sama sekali. Jika serdadu melakukan pelanggaran terhadap rakyat maka dengan segera mereka menjenguk keluarga terkorban dan memberikan dengan paksa uang yang tidak seberapa, jika tidak diterima akan ada ancaman. Begitu diterima maka pihak militer akan mengeluarkan pernyataan bahwa keluarga korban telah memaafkannya dengan bukti menerima uang tersebut. Hal ini bukan hanya terjadi di Acheh saja, tetapi diseluruh daerah kekuasaan “indonesia”, bahkan di Jawa sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, ada kejadian yang menjadi korban terhadap Imam yang dibunuh dengan kejam oleh serdadu. Dan serdadu ini ditangkap dan diserahkan kepada militer untuk diperiksa dan diberikan hukuman. Ini adalah suatu doble standard dalam pelaksanaan hukum. Sebab korban adalah sipil dan sipil tidak dapat informasi yang jelas dan benar dari hasil pemeriksaan terhadap tersangka. Sipil tidak ada akses untuk dapat berita yang jelas dari pihak militer selain hasil pemeriksaan itu diterangkan oleh pihak militer sendiri. Ini nampak sekali yang bahwa militer itu melindungi dengan membabi buta apakah benar atau salah anggotanya.
Penambahan dua batalyon baru
Baru-baru ini kita telah dihebohkan dengan isu akan penambahan dua batalyon tentara di Acheh. Banyak sekali pihak-pihak di Acheh telah membantah perencanaan tersebut. Pihak Jakarta tidak menanggapi sama sekali bantahan ini dengan diam seribu bahasa, ini juga telah menjadi senjata penjajahan yang mumpuni selama ini. Dengan diam tidak menanggapi keluhan rakyat dan rakyat akan lelah dengan diamnya “pemerintah”, hanya menunggu waktu yang tepat maka perencanaan menambahan batalyon ini akan tetap dilaksanakan juga akhirnya.
“Indonesia” sebagai negara pura-pura yang tidak berdasar, menggunakan kekuatan senjata utuk mempertahankan kepura-puraan mereka. Mereka menggunakan polisi sebagai alat pengamanan kepada rakyat, yang pada hakikatnya korps polisi di negara pura-pura ini tidak bisa mengamankan diri sendiri malah bertambah kacau balau dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena kacau balau ini maka ditambahlah kekuatan ini dengan tentara. Seolah tentara ini lebih bisa mengamankan rakyat. Kenyataannya dimana saja kem-kem tentara berada, disanalah tempat kejadian jenayah yang paling meningkat.
Di Acheh sendiri telah ada 13 batalyon yang sebenarnya tidak ada mamfaat apa-apa bagi rakyat Acheh. Yang ada hanya kesusahan seperti yang telah kita sebutkan diatas. Untuk apa penambahan batalyon baru ini sebenarnya? Ini adalah untuk penambahan kekuatan penjajahan bagi Acheh sendiri. Kita jadi bertambah yakin bahwa keputusan untuk menambah kekuatan militer ini semata-mata untuk menakut-nakuti rakyat Acheh. Acheh telah banyak trauma kepada sikap serdadu yang tidak berakhlak ini.
Sebagai bahan untuk kita ketahui saja terhadap sikap keangkuhan “indonesia” ini. “Indonesia” telah berjanji bahwa serdadu di Acheh tidak akan ditambah pada MoU 2005. Pihak “indonesia” dengan sebelah pihak melanggar perjanjian ini. Bukan kita mengakui bahwa MoU itu sah atau tidaknya. Kita dapat melihat bagaimana licik dan jahatnya politik penjajah “indonesia” ini terhadap apa yang telah mereka janjikan sendiri.
Jika penambahan batalyon ini untuk mempertahankan negara dari serangan luar, sangat mustahil sekali. Tidak ada keinginan sama sekali menyerang dari negara luar yang berdekatan. India sangat jauh, Negara-negara Asean bukan negara agresif seperti “indonesia” yang pernah menyerang Malaysia, Singapura dan menjajah Timor Leste. Australia sangat jauh dari Acheh. Dengan tidak ada ancaman sama sekali dari negara luar untuk “indonesia”. Berarti penambahan batalyon ini adalah untuk menakut-nakuti rakyat Acheh semata. Atau untuk membasmi Acheh pada suatu masa. Kita wajib waspada.
Untuk hal lainnya, seperti pengamanan, pembaikan jalan, TNI masuk desa dan lainnya, ini adalah pekerjaan yang bertumpang tindih. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh departmen lain sudah mereka rebut dan biayanya bukan kecil. Jika hal ini dilakukan dengan benar dan tulus ikhlas, maka tidak perlu ada TNI masuk desa.
Ketua Majelis GAM Pusat,
Tengku Musanna di Tiro